Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 6

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 6 : Satu Takdir Dua Aliran
 

“Akhirnya sang putri yang tertidur telah bangun,” pikirku.

Genggamannya kini semakin kuat menandakan eksistensinya telah menguat pula. Dia mulai membuka matanya perlahan. Dia mulai mempertajam penglihatannya. Tatapannya mulai menerawang kemana-mana, memastikan dia berada di mana. Kemudian dia melihat ke arahku. Cukup lama dipandangnya diriku hingga dia sadar,

“Rifki?”

Aku hanya dapat tersenyum. Aku tidak tahu kata-kata apa untuk membalasnya. Aku masih merasa bersalah meskipun rasa bersalahku itu serasa tidak berarti kini. Dia tidak terlihat begitu bahagia ketika bangun. Dengan mengumpulkan segenap keberanian dan mengabaikan perasan malu, aku pun bertanya,

“Kenapa kamu terlihat tidak bahagia? Apa ada yang salah? Ataukah aku menjadi penyebab kamu tidak senang …”

Dia menggeleng dengan lemah.

“Tidak, bukan kamu. Aku hanya sedih, aku harus meninggalkan dunia itu dan kembali lagi ke dunia ini. Aku pikir diriku telah kehilangan cara untuk kembali bersenang-senang.”

Dia terlalu jujur, pikirku. Tidak seperti Rena yang lebih suka menyimpan perasaannya yang sebenarnya, Nindi lebih terbuka terhadap perasaan yang dimilikinya. Ketika aku melihat kedua pertentangan ini, pendapatku hanya satu, keduanya benar-benar membutuhkan uluran tangan.

“Jangan khawatir, banyak cara untuk bersenang-senang. Bahkan, dunia ini tak sekelam kelihatannya.”

Dia hanya tersenyum.

“Jadi, apa kamu mau bersenang-senang denganku, Rifki?” tanyanya lembut padaku.

“Tentu. Sangat menyenangkan bermain denganmu.”

Aku merasa masuk ke dalam pusaran tanggung jawab yang sama dengan dahulu, tanggung jawabku sebagai kakak yang menghibur adik kecilnya yang terkurung dalam penjara bersama orang-orang yang sakit.

Aku masih mengingat percakapanku dengan Rena,

“Kenapa Kakak berwajah murung begitu? Bukankah seharusnya Kakak yang menghiburku dan bukannya sebaliknya?”

“Kamu lebih tegar daripadaku, Rena.”

Rena hanya tersenyum saja waktu itu.

“Setegar-tegarnya diriku, Kakak harus jauh lebih tegar lagi!”

Aku berusaha tersenyum waktu itu. Namun, lebih sulit daripada kelihatannya. Waktu itu aku hanya bisa mengajaknya berkeliling di sekitar rumah sakit agar menghilangkan kebosanannya. Aku benar-benar Kakak yang buruk dan aku menyesalinya hingga sekarang. Melihat Nindi, aku merasa hal yang tidak jauh berbeda. Namun, aku tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama. Aku ingin setidaknya dia merasa bahagia dengan waktu yang dihabiskannya dalam penjara yang tak terlihat ini.

“Rifki, apa kamu bisa memanggilkan dokter Gunawan?”

“Ayahmu baru saja pergi.”

Dia terlihat terkejut.

“Kamu tahu Papaku?”

“Tentu saja. Dia juga dokter yang merawatku. Kebetulan kami bertemu tadi. Ketika aku menemukan ruangan ini.”

“Jadi, bagaimana pendapatmu tentang Ayahku?”

“Dia adalah orang yang baik.”

“Hanya saja dia terlalu sibuk sekarang.”

“Dia berusaha menyelamatkan semua orang sebisanya. Karena itu dia begitu sibuk.”

“Aku mengerti kok.”

Nindi menjawab dengan nada meyakinkan tapi tidak dengan tatapan yang sama dengan ucapannya.

“Kamu sedih Ayahmu tidak di sini?” tanyaku padanya.

“Sedikit.”

Kata-kata itu dilontarkan seolah untuk menepis kata-kataku dengan halus. Aku hanya menerimanya saat ini dan tidak mendiskusikannya lebih lanjut. Aku sebenarnya kehabisan akal. Tidak ada bahan yang bisa kujadikan topik pembicaraan. Namun, Nindi membuka topik pembicaraan.

“Apa kamu tidak marah padaku?”

“Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Nindi?”

“Aku membuatmu repot di dunia itu. Sekarang, aku merepotkanmu juga.”

“Justru, aku bisa merasakan kehidupan sehari-hari yang keluar dari realita. Pengalaman yang cukup menyenangkan. Jangan khawatirkan hal-hal kecil seperti itu.”

“Bagaiman dengan temanku?” tanya Nindi padaku dengan polos.

“Teman ...mu?”

“Benar. Teman sekelasmu tidak mengenalmukan? Mereka saling akrab satu sama lain karena mereka sudah berteman, satu kelas. Mereka tidak mengenalmu karena kamu menggantikan posisiku.”

“Kalau dipikir-pikir, ternyata ganjil juga. Kelas di SMA 1  hanya ada delapan. Kenapa aku tidak menyadari ini semua? Juga dengan ruangan hitam itu …”

“Semuanya terjadi karena kita berbagi memori. Mimpikan hanya bisa memproyeksikan mimpi dari ingatan yang kita miliki. Karena aku dan kamu belum pernah masuk ke ruangan itu, tidak apa-apa di sana.”

“Soal kelas yang tidak kusadari?”

“Itu hanya sedikit permainan ingatan dariku.”

Benar-benar iseng, pikirku.

“Apa kamu baik-baik saja, Rifki?”

Tiba-tiba saja raut wajah Nindi berubah ketika melihat ke arahku. Dia memperhatikanku dengan wajah sedih.

“Tentu saja. Ini semua karena Ayahmu sudah merawatku!”

Aku berusaha menjawab seriang mungkin untuk mengusir rasa kesedihan dalam tatapannya. Namun apa kuasa diriku, dia tidak berubah, tetap melihatku dengan tatapan sedih dan penuh rasa penyesalan. Dia pun mulai menangis.

“M-Maafkan aku!”

“Sudah aku bilang, ini bukan luka serius. Aku baik-baik saja!”

“Maafkan aku! Karena berusaha menyelamatkanku, kamu menjadi korban. Seharusnya kamu tidak perlu menyelamatkanku. Aku ini hanyalah sebutir pasir di hamparan gurun.”

Aku hanya tersenyum.

“Jika kamu berpikir demikian, tak ubahnya hal tersebut padaku. Aku juga hanya sebutir pasir di hamparan gurun. Lalu apa bedanya?”

“Aku … tidak pantas untuk diselamatkan. Ini semua terjadi karena aku melawan perintah Papa.”

“Karena kamu pantas diselamatkanlah sehingga kamu selamat. Tuhan memberikan kesempatan kedua kepada orang-orang yang dikehendakiNya. Tuhan selalu menerima ampunan hamba-hambaNya. Apa yang membuatmu berpikir bahwa Tuhan telah meninggalkanmu?”

Nindi hanya tertunduk malu.

“Minta maaflah pada Ayahmu, bukan aku,” kataku pelan memberi nasihat.

“Tapi … yang membuatmu seperti sekarang adalah aku.”

“Tidak! Ini semua terjadi karena keputusanku. Anggap saja kamu memang bersalah membuatku seperti ini. Tapi aku telah memaafkanmu. Namun, kamu belum meminta maaf pada ayahmu, bukan?”

Dia mengangguk pelan. Nampaknya dia mengerti maksud kata-kataku. Tiba-tiba saja dia menguap dan matanya mulai sayu.

“M-maaf, Rifki. Sepertinya …”

“Jangan khawatir. Aku juga seharusnya kembali ke ruanganku. Semoga mimpimu indah.”

Aku pun mulai berdiri dan bersiap akan keluar namun tanganku ditahan oleh Nindi.

“Maukah kamu menemaniku sebentar? Setidaknya sampai aku tidur? Aku takut sendirian di sini.”

Seharusnya dia tidak terlalu takut karena sebenarnya, jam masih menunjukkan pukul tiga sore. Namun, atmosfernya tidak terlalu baik. Kamar sempit dengan pencahayaan dari lampu yang redup ditambah jendela yang tertutup oleh tirai yang tidak tembus cahaya membuat kamar tersebut cukup suram.

“Bolehkan aku menyentuh tanganmu?” tanya Nindi dengan polos.

“Tentu saja,” jawabku dengan nada yang sedikit bergetar.

Apakah terlalu jelas? Apakah dia menyadarinya? Aku tidak peduli lagi ketika aku merasakan tangannya yang dingin itu menyentuh tanganku. Sebuah perasaan tidak mengenakkan. Aku merasa kembali ke waktu yang menyakitkan. Sebuah waktu di mana duniaku terasa lebih cepat dan merasa berusaha menjatuhkanku dengan keras.

Di waktu ketika diriku kehilangan senyum karena dia, teman abadi dari Maha Kuasa, kembali ke sisi Nya.

Tangan dingin ini, sama seperti Rena. Sebuah genggaman yang sama. Sebuah genggaman dari tangan orang-orang yang mulai kehilangan kehidupannya karena terkurung oleh penjara yang tidak terlihat. Aku muak. Namun, aku tidak dapat melepaskan sisi kehidupanku dari hal ini. Sungguh malang nasibku.

Aku terus saja menggenggam tangannya tanpa henti bersama sapuan lembut dari pendingin ruangan yang membekukan indera perabaku. Mataku semakin berat dan tanpa sadar, aku telah terlelap bersama wajah polos penuh ketenangan itu.

***

Waktu pun berlalu dan aku terbangun. Aku segera menegakkan kepalaku dan melihat Nindi tersenyum puas.

“Sepertinya mimpimu indah, Rifki.”

“Ah, maafkan aku! Aku malah ketiduran …”

“Hihihi …”

Dia hanya tertawa kecil. Aku hanya bisa senyum penuh paksa. Ketika aku melirik sekilas ke arah jam, aku terkejut. Aku memperhatikan dengan saksama dan benar-benar diriku dibuat terkejut.

“Sudah pukul tujuh pagi …!” teriakku kaget.

“Kamu tidak tahu? Kamu tidur pulas sekali.”

“Aku harus pergi, Nindi. Nanti, kalau urusanku sudah selesai, aku akan kembali.”

“Baiklah. Aku akan menunggunya.”

Aku berusaha berjalan cepat dengan keterbatasan tubuhku, meninggalkan Nindi di sana, di ranjang yang dingin. Ketika aku baru saja menutup pintu dan berjalan ke arah kamarku, aku dipanggil oleh seseorang dari belakang. Ketika aku berbalik, aku menemukan ayah Nindi yang memanggilku.

“Akhirnya kamu bangun. Bapak lihat kamu kemarin tertidur di kamar Nindi jadi Bapak tidak membangunkanmu.”

“M-maafkan saya!”

“Ah, tidak apa-apa. Kamu juga sedang tahap penyembuhan. Itu tidak aneh kok. Sebenarnya ada yang ingin Bapak bicarakan dengan Rifki.”

Aku pun dipenuhi oleh rasa penasaran.

“Bagaimana kalau kita berbicara di kamarmu saja, Rifki?” tanya ayah Nindi.

“Boleh.”

Kami berjalan ke arah kamarku yang jaraknya tidak terlalu jauh itu dan kami mulai mengambil posisi masing-masing. Aku duduk di atas ranjangku sedangkan ayah Nindi duduk di salah satu kursi yang disediakan rumah sakit yang letaknya tidak terlalu jauh dari ranjangku.

“Jadi, langsung saja ke intinya. Maukah kamu menemani Nindi selama seminggu ini?”

“Ha …?” aku sontak kaget tidak mengerti. Apa maksudnya?

“Kamu pasti bingung ya … Hmmm begini, Bapak lihat Nindi sangat senang dengan kehadiranmu. Dia perlu dorongan untuk penyembuhannya. Maukah kamu menemaninya selama seminggu ini? Jangan khawatir, Ibumu sudah Bapak beritahu soal ini. Beliau mengatakan bahwa akan menyerahkan semuanya pada Rifki. Tentu saja biaya inap juga akan Bapak tanggung. Bagaimana?”

Aku berpikir mengenai tawaran ayah Nindi. Sebenarnya memilih iya maupun tidak akan sama saja. Namun, ketika aku mengingat wajah Nindi, aku melihat bayangan Rena, jauh dari dalam dirinya. Mengapa ini? Kenapa aku menjadikan Nindi menjadi tempat pelampiasanku terhadap Rena? Aku melihat ke arah tangan kiriku. Aku teringatkan akan kejadian kemarin. Sebuah genggaman dari tangan yang dingin. Ternyata memang, aku tak mampu meninggalkannya.

“Baiklah.”

Ayah Nindi seketika terlihat bahagia dan berterima kasih atas kebaikanku. Sebenarnya, aku melakukan hal ini bukan karena ayahnya namun untuk diriku sendiri. Sudahlah, aku sudah tidak peduli lagi.

“Kalau begitu, Bapak harus pergi. Jangan lupa, jam delapan kamu ada rehabilitasi.”

“Baik!”

***

Aku telah menyelesaikan rehabilitasiku. Para perawat mengatakan bahwa badaku sudah pulih. Memang, aku tidak merasakan hal yang terlalu ganjil pada tubuhku. Aku hanya merasa kaku. Kini, setelah menjalani rehabilitasi tubuhku kembali seperti semula. Aku pun bergegas menuju tempat Nindi. Dia terlihat sangat bosan ketika aku memperhatikannya saat baru masuk.

Aku dan Nindi menghabiskan waktu bersama untuk bercerita mengenai pengalaman sekolah masing-masing. Ada banyak hal yang kupelajari ketika Nindi mulai bercerita. Dari sudut pandangku, dia membutuhkan seorang teman yang mau mendengarkannya atau menjadi teman bicaranya.

Pada akhirnya, Nindi kembali tertidur lebih awal dan tidur dengan lelap. Aku yang tidak memiliki pekerjaan apapun menyibukkan diriku dengan mengambil secarik kertas dan pena. Aku pun mulai menulis sebuah cerita.

Aku hanya dapat berkata …

“Agh … aku melakukannya lagi.”

Aku tak dapat lepas dari belenggu ini. Setiap kali aku bosan, aku mulai berimajinasi dan mulai menuliskan ide-ide gilaku. Kemudian, di waktu yang lain, aku akan mulai membuat ceritanya atau menulis ide-ide gila yang lain. Namun, tiap torehan tinta yang kugariskan mengingatkanku pada sang pelopor hobiku ini, adikku yang kini tidak lagi berada di sisiku lagi.

Di sanalah aku merasa sedih dan sedih. Kemudian terus merasakan kesedihan. Lalu aku mulai menyakiti diri sendiri dengan menutupi kesedihan dengan kebohongan. Aku pun retak disebabkan kebohongan itu tak mampu lagi tertampung.

Bohong bila ku katakan aku tidak rindu. Bohong bila kukatan aku tegar. Bohong bila kukatakan aku tidak menyesalinya. Bohong bila kukatan “aku baik-baik saja”.

Aku pun hanya dapat menangis di sudut ruang yang kelam diselimuti kesedihan dan perasaan tiada dusta.

***

Keesokan harinya, aku membawa Nindi jalan-jalan dengan kursi roda. Udara pagi yang menyegarkan, suara burung yang indah, serta angin yang terkadang sesekali berhembus. Aku membawanya pergi berjalan-jalan menuju lapangan yang ada di rumah sakit. Kebetulan, aku mendengar bahwa akan ada bakti sosial di rumah sakit dan panggung hiburan untuk menghibur mereka yang dirawat di rumah sakit dan tidak mampu keluar dengan bebas.

Ada banyak yang ditampilkan termasuk drama dan tari. Dari yang kulihat, Nindi sangat antusias melihatnya. Sekitar pukul empat sore, aku dan Nindi keluar dari kerumunan tersebut. Aku membawanya ke taman rumah sakit yang kebetulan tidak terlalu ramai karena acara di lapangan.

Nindi menatap pohon-pohon yang tumbuh di sekitar taman dengan tatapan yang damai. Sebuah tatapan yang biasa kulihat ketika seseorang berusaha memikirkan kembali segala sesuatunya. Aku pun berhenti di sebuah bangku taman yang kosong di bawah pohon yang rimbun. Ditemani burung-burung, kami berbincang ringan mengenai acara yang diadakan tadi.

“Luar biasa sekali! Aku juga ingin bisa sepert para penari itu! Juga, aku ingin bermain drama lagi!”

“Tentu saja! Kamu harus bersemangat untuk rehabilitasi! Jadi, kamu bisa kembali melakukan aktifitasmu seperti biasa,” kataku menyemangatinya.

Tidak ada reaksi dari Nindi. Aku pun terheran-heran. Ketika aku melihat ke arah Nindi, aku melihat dirinya sedang menghela napas.

“K-kenapa? Apa kata-kataku salah?” tanyaku.

“Tidak. Sebenarnya tidak salah hanya saja, kamu tidak menyadari sesuatu.”

“Apa itu?”

“Dengan tubuhku sekarang, aku tidak mungkin lagi melakukan drama atau yang lainnya. Mungkin, aku harus hidup dengan kursi roda.”

Aku tiba-tiba merasa bersalah dan iba dengan Nindi. Seorang gadis yang memiliki jiwa kuat tapi terbataskan oleh tubuh. Memang, terkadang hidup tidak adil.

“Tapi jangan khawatir,” katanya.

“Kenapa?”

“Karena aku akan menjemput keajaiban.”

“A-apa maksudmu, Nindi?”

“Tiga hari lagi, aku akan mengadakan operasi transplantasi jantung. Memang, kemungkinannya tidak 100% tapi persentase keberhasilannya cukup baik kok, 60%.”

“Memangnya kamu harus menjalani operasi ini?” tanyaku dengan jantung yang mulai berdebar-debar karena cemas.

“Tidak. Hanya saja, keadaanku hanya akan semakin memburuk atau paling bagus, keadaanku akan seperti ini saja. Jika tidak ada kemauan untuk berubah, maka kehidupanku tidak akan berubah. Aku ingin kembali ke kehidupan normalku.”

“JANGAN!”

“Rifki ….”

Apa yang berusaha dilakukan si bodoh ini? Padahal dia dapat hidup dengan tenang tanpa mengambil operasi. Walaupun keadaannya sedikit memburuk, tapi tidak masalahkan? Selama dia dapat hidup dan tersenyum, itu sudah lebih dari cukup. Kenapa … dia malah mengorbankan kesempatannya untuk mengambil keajaiban itu?

Ini tidak sama dengan Rena yang tidak memiliki jalan kecuali mendapatkan keajaiban. Nindi masih memiliki jalan. Kenapa dia harus mengambil jalan penuh batu yang akan menyakitinya? Aku tidak habis pikir.

“JANGAN MELAKUKAN HAL BODOH LAGI! AKU TIDAK INGIN ADA RENA KEDUA DALAM HIDUPKU! AKU AKAN MELAKUKAN APAPUN ASAL KAMU MEMBATALKAN OPERASI TERSEBUT!”

“Entahlah. Aku ragu. Aku ke sini untuk mencerahkan pikiran,” terangnya.

“Ini memang egois. Tapi, aku mohon jangan operasi! Aku mengerti semangatmu untuk kembali hidup seperti biasa tapi bukankah ini terlalu berisiko? Jika memang kamu membutuhkan kaki untuk berjalan, biarkan aku menjadi kakimu! Jika kamu butuh tangan untuk meraih, biarkan aku menjadi tanganmu! Jika kamu butuh aku, diriku akan selalu di sampingmu. Jadi, aku mohon!”

“Kamu tidak selamanya di sampingku.”

Kata-kata yang baru saja diucapkan Nindi langsung menusukku dengan kuat. Dia tidak mempercayaiku.

“Aku akan menjadi dokter dan akan bekerja di sini. Aku akan menjadi dokter untukmu. Aku akan merawatmu. Maukah kamu percaya padaku?”

Dia hanya terdiam tanpa berkata-kata. Apakah ini artinya dia tidak percaya padaku?

“Aku tida mampu menjawabnya sekarang, Rifki.”

“A- … Sudahlah! Lalu apa alasanmu memilih untuk melakukan operasi? Rasanya tidak mungkin kamu mengejar keajaiban. Terdengar seperti dongeng!”

Nindi hanya tersenyum.

“Dramamu yang berjudul ‘Langkahku’ telah mengetuk hatiku. Bahkan, terkadang kita tidak perlu yang namanya keajaiban untuk dapat hidup dengan bahagia. Meskipun dia akhirnya tidak dapat bertahan, dia tidak menyesalinya. Karena hidupnya sendiri adalah keajaiban.”

Aku hanya dapat terdiam. Bagaimana mungkin? Kenapa dia memutuskan untuk operasi karena melihat sebuah drama kacangan milikku?

“INI BUKANLAH DRAMA!” aku membentaknya dengan kuat.

“Terima kasih, Rifki. Kamu sudah menuntunku kembali ke jalan yang indah.”

“Tidak … tidak tidak tidak! Aku membuat itu memang untuk menyemangati adikku tapi bukan ini yang kuharapkan! Berharap pada keajaiban dan mengabaikan logika. Bukan ini yang kumaksud!”

“Aku butuh waktu untuk sendiri. Maukah kamu mengantarku ke kamar, Rifki?”

Itulah perbincangan terakhir kami sebelum aku meninggalkan kamarnya penuh penyesalan. Kenapa ini semua harus terjadi padaku?

***

Pada malamnya, ayah Nindi masuk menemui anaknya yang kini telah memutuskan jalannya.

”Jadi Nindi, apa pilihanmu?”

Kemudian Nindi hanya tersenyum dan berkata …

“Aku …”

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 6 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar