Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 7

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 7 : Langkah Pelanmu Meninggalkanku

“Aku …siap untuk operasi, Papa.”

Kata-katanya telah tersampaikan. Sebuah kata yang akan mengubah hidup Nindi untuk selamanya. Ayahnya hanya mampu menerima kata-kata anaknya tanpa mampu membantahnya lagi. Ayahnya telah menyerahkan semuanya pada keputusan putri semata wayangnya itu.

“Baiklah. Jadwalnya seperti yang sudah kita diskusikan sebelumnya. Oh ya, jangan lupa beritahukan pada Rifki. Dia berhak tahu.”

“Baiklah, Papa.”

***

Aku bangun dengan penuh rasa putus asa. Apa yang sudah terjadi? Kenapa semunya menjadi seperti ini? Aku melihat ke arah jam dinding. Dia mengatakan ingin waktu sendiri untuk berpikir. Apa aku harus menjemputnya seperti biasa ataukah aku meninggalkannya sendirian untuk hari ini? Aku yang siap menjalani hari kini berdiri di depan pintu kamar Nindi.

Aku mengumpulkan keberanianku dan membuka pintunya. Nindi ternyata masih tertidur. Aku pun menutup pintu dan duduk di sebelah ranjangnya. Benar-benar pemandangan yang sudah biasa kujalani bahkan sebelum diriku bertemu Nindi. Akan tetapi, aku dikejutkan ketika Nindi menarik kepalaku ke arahnya dan mulai mengacak-acak rambutku. Dia pura-pura tidur!

“Hahaha, aku tidak menyangka kamu bisa ditipu!” teriak Nindi senang.

“Hentikan, Nindi!”

Dia tidak mengacak-acak rambutku lagi dan tiba-tiba saja diam.

“Bisakah kamu diam seperti ini sebentar, Rifki?”

Aku tidak menjawab kata-katanya. Aku tahu yang dapat kulakukan hanyalah diam tanpa melakukan apapun. Dia kehilangan sosok yang dapat menjadi tempat untuk bersandar. Aku mengelus pelan rambutnya. Meskipun aku tak dapat melihat ke sekeliling, tapi aku bisa memastikan tanganku berada di rambutnya.

“Kamu pasti kesepian,” kataku pelan.

“Aku ...memutuskan untuk operasi.”

Aku segera mengangkat kepalaku. Aku melihatnya dengan tatapan tidak percaya.

“K-kenap ...?”

Dengan cepat dia memotong kata-kataku.

“Kenapa akhirnya aku memilih operasi? Tentu saja karena aku ingin menjemput keajaiban!”

Aku tak dapat berkilah jika aku sedih mendengarnya. Kata keajaiban bukanlah kata murahan yang dapat terjadi di simpang jalan tanpa campur tangan Tuhan. Apa aku berharap bahwa keajaiban akan datang? Dia masih memiliki jalan tapi dia berusaha mengambil risiko. Aku tak mampu melihat ke dalam pikirannya, hatinya, apa yang sebenarnya dia rasakan. Semuanya terlalu abu-abu dan penuh debu hingga diriku tak mampu melihatnya.

Aku iri. Iri akan senyumnya tanpa rasa gentar itu. Bagaimana dirinya dapat berubah dari depresi layaknya diriku menjadi seseorang penuh semangat tanpa rasa takut? Tanpa sengaja kata-kataku terucap,

“Yang manakah dirimu sebenarnya?”

Nindi melihatku dengan tatapan bingung. Wajar saja, dia tidak mengetahui isi hatiku. Namun, kata-kataku tak dapat ditarik lagi.

“Bersedih dan takut menghadapi kenyataan atau selalu optimis dan percaya keajaiban akan mendatangimu. Manakah dirimu yang sebenarnya?”

“Keduanya.”

“Kenapa kamu sedih kalau kamu optimis dan kenapa kamu bisa optimis jika kamu sedih?”

“Aku sedih jika aku harus berakhir di ruang operasi. Aku sedih dan takut bila saat-saat ini akan berakhir dan aku harus pergi ke tempat yang jauh. Namun, aku harus optimis pada keajaiban yang terbalut dalam gemerlap ruang operasi. Aku ingin bebas selayaknya burung-burung di luar sangkarnya.”

“Terkadang, burung-burung yang bebas itu pun memiliki cerita duka yang tak tersampaikan. Apakah kamu siap kembali ke dunia yang tanpa ampun ini?”

“Apakah kamu mau menemaniku hingga penghakiman tanpa ampun itu datang?” tanyanya padaku.

Aku kini mengelus pelan kepalanya.

“Jika kamu dapat tersenyum lusa, aku tidak akan kemana-mana lagi,” kataku padanya

“Oke, pegang kata-katamu itu, Rifki!” tantangnya.

“Tentu saja. Seorang lelaki sejati tidak akan menarik kata-katanya lagi!”

Kami saling adu kuat melalui kata-kata. Mendengar kata-kata yang sedikit angkuh itu kami mulai tertawa. Lepas, tanpa beban. Oh Tuhan, aku iri. Mengapa Dirimu dapat menciptakan suasana seindah ini dan mampu menciptakan suasana yang mampu membuat hatiku teriris? Kenapa dengan mudahnya Dirimu mampu membolak-balikkan hatiku? Aku iri padaMu yang melihatku dengan keadaan seperti ini. Sungguh hina diriku ini, wahai Tuhanku di singgasananya.

Tiba-tiba saja seorang perawat dan dokter yang tidak kukenal masuk. Mereka “mengusirku” dengan halus dan memisahkan diriku dengan Nindi. Sunggu tidak sopan! Padahal aku baru saja menciptakan suasana yang baik untuk berbicara santai dan lepas. Namun, dia hanya dapat menyutujui kata-kata mereka. Karena Nindi juga memintaku untuk keluar, aku terpaksa meninggalkan ruangan tersebut.

Aku yang tak tahu harus pergi ke mana memutuskan berjalan ke arah taman rumah sakit dengan sebuah aliran sungai kecil yang sangat jernih. Aku pun bermenung di atas jembatan batu yang menghubungkan bagian taman yang terpisahkan oleh sungai kecil tersebut.

“Kenapa harus bermenung di sini, wahai anak muda?”

Ketika aku melihat ke arah sumber suara tersebut, aku menemukan ayah Nindi lah yang mengatakan kata-kata yang baru saja kudengar.

“Ah, tidak, Pak …,” kataku sambil berusaha mengalihkan pertanyaan.

“Kamu pasti ke sini karena kamu tidak bisa bertemu Nindi, bukan?”

“Hmmm ... kurang lebih begitu.”

“Jadi …kamu sudah tahu bukan?” tanya ayah Nindi dengan pertanyaan yang kabur.

“Soal Nindi yang memutuskan untuk operasi? Ya, saya sudah tahu.”

“Baguslah. Bapak tidak ingin kamu terkejut mendengar kabarnya atau tidak dapat menemukan Nindi.”

“Tapi sebenarnya, saya punya satu pertanyaan yang belum terjawab hingga sekarang.”

“Apa itu, Rifki?”

“Maaf, ini mungkin sedikit tidak sopan,Pak tapi kemanakah Ibu Nindi selama ini?”

Ayah Nindi melihat ke arahku dengan tatapan serius kemudian menutup matanya beberapa saat kemudian membuka matanya dan mengarahkan pandangannya pada sungai kecil yang mengalir indah di bawah kami.

“Dahulu, istriku tidak bekerja. Dia biasanya yang menjaga Nindi. Namun, sejak keadaan Nindi semakin memburuk dan biaya perawatan Nindi semakin besar, istri Bapak memutuskan untuk mencari kerja dan mendapat perkerjaan di kedutaan.”

“Jadi Ibu Nindi ada di luar negeri?”

“Benar. Memangnya ada apa?”

“Ah, tidak. Hanya penasaran saja.”

“Oh ya, Bapak dengar kamu sekarang sudah kelas XI ya?”

TIba-tiba saja ayah Nindi menanyakan hal tersebut. Aku rasa hal ini mengenai masa depanku.

“Benar. Memang ada apa, Pak?”

“Kamu ingin melakukan apa kalau sudah lulus? Langsung kerja atau kuliah?”

“Kalau cari kerja dengan ijazah tamat SMA susah. Saya mau melanjutkan kuliah dulu S1 kedokteran.”

“Oh jadi dokter ya? Kalau kamu nanti ko-as, di sini saja. Kebetulan manajer rumah sakit ini kenalan baik Bapak.”

“Saya bersyukur sekali kalau memang begitu.”

Aku hanya dapat tersenyum mendengar kata-kata ayah Nindi tersebut. Setidaknya aku mendapatkan sedikit kemudahan dalam menempuh masa depanku kelak. Tiba-tiba saja aku mendengar suara nada dering telepon genggam. Ayah Nindi segera meraba sakunya dan mengangkat telepon untuknya. Setelahnya, dia pamit padaku karena harus kembali bekerja.

“Bapak harus kembali. Ada pasien yang menunggu. Terima kasih ya sudah mau berbincang dengan Bapak.”

“Tidak, Pak! Saya yang seharusnya berterima kasih.”

Setelahnya dia pergi meninggalkanku sendiri di jembatan yang menghubungkan kedua daratan yang terpisah oleh sungai jernih tiada noda. Aku kembali ketika jam makan siang dan aku masih belum menemukan Nindi di kamarnya. Kemana dia? Ketika aku bertanya kepada perawat yang biasa menjaganya, dia mengatakan bahwa Nindi harus menjalani test sebelum operasi besok. Benar juga, besok adalah harinya. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan hari itu tanpa melihat Nindi lagi. Aku berniat menyapanya dan menyemangatinya besok, pagi-pagi sekali sebelum dia operasi.

***

Aku terbangun pukul enam pagi. Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Dengan semangat menghadapi hari ini, aku segera bersiap dan bergegas menuju ruangan Nindi. Ketika aku membuka pintu kamarnya, dia masih tidak di sana. Ada apa ini? Aku berkeliling ke sekitar untuk mencari ayah Nindi yang biasanya mudah ditemukan. Sayang sekali, beliau tidak terlihat. Dengan keadaan tersebut, aku memutuskan untuk mencari informasi di ruang resepsionis.

“Ada yang bisa di bantu, Dek?” tanya penjaga resepsionis tersebut dengan ramah.

“Hmm saya mencari dokter Gunawan.”

“Oh, dokter Gunawan sedang menjalankan operasi.”

“O-operasi?”

“Boleh saya tahu siapa yang dioperasi?”

Batinku mulai gelisah. Aku tidak ingin jawaban terburuk muncul tapi apa daya, aku harus tahu.

“Di sini tertulis Saudari Nindi.”

Aku langsung lemas mendengarnya tapi tetap ku kuatkan diriku mencari kebenaran. Aku berterima kasih kepada penjaga resepsionis tersebut dan berlari ke arah ruang operasi. Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin Nindi operasi? Bukankah dia mengatakan besok? Seharusnya …

Tunggu dulu …

Dia memang operasi hari ini. Akan tetapi, aku tidak tahu kapan dia operasi. Apakah ini berarti dia operasi pada dini hari? Kenapa dia tidak memberitahuku kapan dia operasi? Bukan, lebih tepatnya ini adalah kebodohanku. Kenapa aku tidak bertanya padanya kapan dia operasi?

Aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun padanya.

Aku merasa putus asa sekarang. Aku takut pada kemungkinan gagalnya. Aku takut pada kemungkinan bahwa aku tidak bertemu dengannya lagi. Aku takut akan kemungkinan bahwa pembicaraan yang santai itu adalah pembicaraan terakhir kami. Aku takut dan semakin takut. Sungguh aku adalah penakut.

Aku habiskan waktuku menunggu Nindi di depan ruang operasi. Dari pukul enam pagi hingga dua belas siang. Dalam rentang enam jam itu aku pun tertidur tanpa kusadari karena kelelahan. Lelah akan hati yang tak siap akan terjangan kesedihan dan keputusasaan.

Aku tertidur dengan nyenyak hingga seseorang membangunkanku. Ketika aku melihat baik-baik orang tersebut, aku baru menyadari bahwa dia adalah ayah Nindi.

“Akhirnya kamu bangun,” katanya lembut sambil tersenyum.

“Maaf.”

“Ah, tidak apa-apa. Kamu pasti kelelahan menunggunya.”

“Bolehkah saya tahu, Pak kapan Nindi operasi?”

“Loh, bukannya kemarin sudah diberitahu Nindi?”

“Saya hanya diberitahu Nindi bahwa dia akan operasi hari ini.”

“Dia operasi jam dua dini hari tadi.”

Tebakanku benar. Namun, maksud sebenarnya diriku bertanya adalah berusaha mengulur waktu. Mengulur waktu agar hatiku lebih siap ketika mendengarkan kata-kata dari ayahnya sendiri mengenai operasi anaknya.

“Soal operasi Nindi …,” ayah Nindi angkat bicara.

“Y-ya?”

“Operasinya berhasil.”

Seketika itu juga rasanya sesak di dadaku menghilang dan membuat napasku tidak beraturan. Aku telah mendapatkan keajaibanku. Dia pun telah menjemput keajaibannya. Aku hanya dapat merasa senang dan terharu. Dengan cepat ayah Nindi memelukku dan kami merasa berbagi kebahagiaan yang sama. Sebuah kebahagiaan kecil dapat melihat senyumannya kembali.

Setelah beberapa saat dalam suasana haru tersebut, ayah Nindi melepaskan pelukannya dan mengatakan satu hal yang membuat dadaku kembali sempit.

“Ini baru setengah jalan.”

Aku tak mampu berkata-kata ketika ayah Nindi mengatakan hal tersebut. Masih adakah cobaan untuk diriku yang rapuh ini?

“Dia harus dirawat selama tiga hari di ICU. Di sanalah takdir yang menentukan jalannya. Apabila Tuhan mengizinkan, dia akan sembuh. Namun, jika Tuhan tidak berkehendak, maka jalannya akan berakhir.”

“Apa maksud Bapak?”

“Ada sebuah risiko lagi yakni penolakan organ. Jika jantungnya ditolak dan dianggap benda asing oleh sistem kekebalan tubuhnya, maka harapan hidupnya akan sangat tipis.”

“Apa Bapak tidak bisa melakukan sesuatu?”

Dia hanya menggeleng. Matanya pun terlihat sangat lelah. Lelah akan penderitaan dan ujian yang harus dihadapinya. Bahkan setelah masa mematikan ketika hidup anaknya berada di tangannya sendiri, dia harus merelakan takdir Tuhan bekerja. Begitulah dunia ini bekerja. Dalam keadaan kelam itulah aku melarikan diri dan tidur dengan sesak di dada.

***

Melihatnya sangat lemah dari jauh membuatku dadaku semakin sesak. Dalam tiga hari ini aku telah berpikir. Mungkinkah bahwa perpisahan semakin mendekat? Namun, aku terus menolaknya. Mungkin inilah saatnya aku menggantukan harapanku pada keajaiban yang dipercayai Nindi.

Tiga hari berlalu dan Nindi belum dikeluarkan dari ICU. Pada hari kelima, ayah Nindi memanggilku ke ruangannya. Dengan segala bau obat-obatan di ruangannya, aku hanya dapat tertunduk.

“Bapak harus menyampaikan sesuatu padamu.”

“Apa ini berhubungan soal kesehatan Nindi?”

“Benar.”

Seketika itu juga kami berdua terdiam. Seolah telah mampu membaca hati masing-masing, kami hanya bertatapan mata. Namun, aku harus mendengarnya. Kenyataan yang terbentang di depanku.

“Jadi, bagaimana kesehatan Nindi, Pak?”

“Sayang sekali, kami menemukan gejala penolakan organ di tubuhnya. Seiring peningkatan sel darah putihnya, kami tidak mempunyai banyak pilihan. Ketika akan menggunakan immunosuppression, kami memiliki kendala akan penyakit flu ringan yang diderita Nindi. Jika kami menggunakannya, flu dapat membunuh Nindi dengan cepat dan ganas. Begitu pula jika tidak menggunakannya, jantung hasil transplantasi tadi akan dibunuh oleh sel darah putih. Bapak sudah kehabisan pilihan.”

Kata-kata itu baru saja merobek-robek hatiku hingga bagian terkecilnya. Aku hanya dapat melihat tatapan sedih itu.

“Kamu bisa pulang. Bapak tidak ingin meninggalkan kenangan buruk untukmu. Lupakanlah Nindi. Bapak harap kamu mengerti.”

Bagaimana seorang ayah dapat berkata seperti itu? Namun, aku memang takjub. Ayah Nindi telah menunjukkan profesionalitasnya sebagai dokter. Tidak membiarkan perasaannya diambil alih dan terus mengedepankan tugasnya. Hanya saja, hatiku ingin tetap di sini. Aku tidak ingin dipermalukan dua kali. Aku tidak ingin lari untuk kedua kalinya. Aku tidak ingin dunia mengutukku kembali karena sifat pengecutku ini.

“Saya tetap di sini,” kataku dengan nada mantap.

“Baiklah kalau begitu. Kamu bisa menemui Nindi jika kamu mau. Tapi gunakan jas steril. Bawa kartu ini dan katakan saja pada perawat penjaga ICU di sana bahwa dokter Gunawan yang memperbolehkanmu.”

“Terima kasih, Pak. Bolehkah saya bertanya satu hal?”

“Apa itu, Rifki?”

“Berapa lama lagi waktu Nindi?”

“Entahlah. Bisa satu hingga dua minggu. Ini semua bergantung pada tubuhnya. Keajaiban yang dapat menyelamatkannya sekarang.”

“Terima kasih Pak telah berbagai pada saya.”

“Sama-sama, Rifki.”

Aku meninggalkan ruangan dan terduduk di depan ruang tunggu. Air mataku mulai mengalir dengan hati yang sakit. Aku tak mampu mengungkap kesedihanku dengan kata-kata.

Akhirnya kita harus berpisah jua

***

Aku kini berdiri di depan ruang ICU. Bersama kartu pengenal yang diberikan oleh ayah Nindi, aku menemui salah seorang perawat yang berdiri di sana. Aku diberikan baju hijau yang tipis dan agak transparan. Setelah diperbolehkan, aku berjalan ke lorong sempit yang menjembatani dunia luar dengan ruang perawatan ICU. Aku pun masuk ke dalam ruang itu. Ketika aku baru saja masuk, aku melihat banyak alat-alat kedokteran yang membuat ruangan itu terasa sangat kecil dan sesak.

Diriku melihat Nindi yang terbaring lemas dengan sebuah alat bantu pernapasan yang menutupi mulutnya serta sebuah EKG yang terus mengeluarkan bunyi yang menggangguku.

“Syukurlah operasimu berjalan lancar, Nindi.”

“... ”

Dia hanya diam tak menjawab kata-kataku.  Diamnya telah merusak seluruh perasaanku. Apa yang salah? Ataukah aku terlalu cepat menemuinya? Dalam kebingungan itu, Nindi tiba-tiba saja mengeluarkan suara.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Rifki.”

“Apakah itu Nindi?”

Dengan berusaha menyembunyikan tatapan sedih itu, aku menjawab kata-katanya. Hatiku kini mulai membeku dan siap mendengarkan segala kata-katanya sekarang.

“Pergilah dari sini! Jangan pernah kembali!”

Dia menatapku dengan tatapan benci. Angka-angka di EKG nya menunjukkan peningkatan. Denyut jantungnya meningkat. Aku pun hanya dapat mendengarkan kata-katanya sambil melihat ke arah wajahnya yang menatapku dengan benci.

“Kamu menghalangi jalanku dan penglihatanku, Rifki.”

Aku hanya dapat diam. Aku terus mendengarkan ocehannya.

“DAN LUPAKAN AKU UNTUK SELAMANYA!”

Dia meneriakkan kata-kata itu padaku. Kenapa? Apa kamu juga tahu kondisimu yang sebenarnya? Aku hanya dapat bersabar. Hanya satu hal yang ingin kulakukan sekarang untuknya.

Aku memeluknya dengan lembut. Dia tidak melawan sedikit pun. Sesekali aku juga mengelus pelan rambutnya yang kini telah berubah kusam. Namun, aku tidak peduli. Dia masihlah Nindi yang sama dengan senyum yang sama.

Dunia terus berubah begitu pula diriku. Kini aku berdiri tegap melapaskan pelukanku dan mengatakan padanya,

“Aku sekarang telah belajar bahwa melupakan hanya membawa rasa sakit. Aku akan mengingat orang-orang yang berharga untukku.”

Nindi hanya terdiam. Aku pun melanjutkan kata-kataku,

“Aku akan selalu kembali untukmu. Kamu tidak akan sendirian di sini.”

Ketika aku mengatakan hal tersebut, Nindi memegang dadanya dan mulai mengerang kesakitan. Tiba-tiba saja EKG berbunyi dengan nada datar. Angka-angka yang tertera di sana menunjukkan angka nol. Dengan segala kekuatan aku segera berlari menuju Nindi dan segera melakukan CPR[1]. Aku akan melakukannya sesuai yang pernah kubaca. Aku meletakkan tangaku di dadanya dan harus menekan dadanya sedalam 5 cm dengan 100 kali tekanan dalam 1 menit. Terlihat para perawat mulai mengambil alat kejut jantung dan mengambil beberapa alat lain.

“Nyalakan! 300 Joule!”

Tiba-tiba aku mendegar suara ayah Nindi dari belakangku.

“Mundurlah, Rifki!”

Aku segera mundur dan melihat seorang dokter sesungguhnya melakukannya. Penyelamatan pertama terhadap orang yang gagal jantung. Namun, meski halt ersebut sudah dilakukan, suara datar itu masih terdengar.

“Naikkan! 400 Joule!”

“Siap, dokter!” terdengar jawaban dari perawat yang mengawasi alat kejut jantung.

Ayah Nindi mulai melakuakn kejut jantung kembali. Masih tidak ada respon positif dari Nindi.

“450 Joule!”

“Siap!”

Dalam keadaan kritis itu, terdengarlah sebuah kata dari ayah untuk anaknya.

“Kembalilah, Nindi!”

Mendengarkan kata-kata penuh harap itu, aku pun menjadi berharap dalam hati kecilku,

“Tuhanku, berikanlah aku satu kesempatan untuk membahagiakannya! KEMBALILAH NINDI!”

Semuanya hening sesaat. Aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja suara datar itu telah berubah menjadi nada harmonis yang menggambarkan kehidupan. Semuanya kini dapat bernapas lega.

“Bagus sekali, Rifki. Kamu sudah melakukan pertolongan pertama dengan CPR. Bapak bangga dengan pengetahuanmu.”

“Tidak, ini bukan seberapa.”

Aku tidak dapat mencerna kata-kata yang disampaikan oleh ayah Nindi dengan baik. Batin dan pikiranku masih melayang jauh. Aku masih memikirkan sebuah langkah kecil untuk memberikan perpisahan terbaik untuknya. Namun, aku menyesalkan langkah pelanmu meninggalkanku.


Catatan Kaki
[1] CPR (Cardiopulmonary resuscitation)
adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.

Lebih lanjut :
http://id.wikipedia.org/wiki/Resusitasi_jantung_paru-paru
http://en.wikipedia.org/wiki/Cardiopulmonary_resuscitation

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 7 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar