Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 8 [END]

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 8 : Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku

Perpisahan semakin jelas. Waktu semakin menipis. Bersama takdir yang terus bergulir, aku hanya dapat mengucapkan kata selamat tinggal sebelum dia benar-benar meninggalkanku.

“Saya sudah menyiapkan semuanya,” kataku pada Ayah Nindi.

“Kenapa kamu mau repot-repot Rifki?” tanya beliau padaku.

“Ini adalah pertemuan terakhir saya dengan Nindi. Setelahnya, saya akan meninggalkan Nindi dalam pengawasan Bapak. Saya tidak mau tersakiti lagi. Saya trauma.”

“Baiklah, Bapak mengerti. Nindi dapat keluar hari Minggu ini tapi dia harus menggunakan kursi roda. Apa itu tidak masalah?”

“Tidak apa-apa,” jawabku mantap.

Aku juga membisikkan sesuatu ke telinga Ayah Nindi. Dia mengangguk mengerti. Aku permisi dan melangkah pergi menuju hari di mana perpisahan terakhirku dengan Nindi.

***

Hari Minggu tiba. Dengan sebuah kata perpisahan yang telah tertancap di hatiku, aku menemui Nindi yang telah menunggu di depan ruang ICU bersama kursi roda yang terlihat lelah menunggu.

“Mau kemana kita, Rifki?”

“Ke suatu tempat yang sudah lama tidak kamu kunjungi.”

Aku mendorong kursi roda itu dengan perlahan. Aku dapat merasakan betapa ringannya Nindi. Lorong besar nan suram ini menjadi saksi bisu atas perjalanan terakhir kami menuju perpisahan. Ketika aku sampai di luar rumah sakit, sebuah mobil telah menunggu. Aku pun menaikkan dengan perlahan Nindi ke atas mobil. Setelah semuanya siap, kami pergi menuju tempat yang telah lama tidak dikunjunginya.

Perjalanannya memakan waktu sekitar 30 menit dari rumah sakit. Setelah menunggu cukup lama, kami akhirnya melihat tujuan kami.

“Ini … auditorium?” tanya Nindi polos.

“Benar.”

“K- kenapa kita ke sini?”

“Tunggu dan lihat saja.”

Setelah sampai, aku membawa Nindi masuk. Tidak ada apa-apa di dalamnya kecuali sebuah tirai yang menutupi panggung. Kursi roda itu kubawa berjalan ke arah depan dan kuhentikan di sana. Aku pun duduk di kursi yang ada di auditorium itu tepat di sebelah Nindi.

Suara mulai terdengar.

“Seorang putri yang memiliki kekuatan sihir berusaha menciptakan sangkar yang tak terlihat namun dia terperangkap di dalamnya bersama pangeran yang diidamkannya. Kini dia punya dua pilihan, hidup tak peduli akan sangkar bersama pangeran atau memberitahukan kebenarannya pada pangeran.”

Manakah yang akan kamu pilih?

Nindi langsung terdiam. Tirai pun terbuka. Nindi terkejut dan tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya melihat panggung tersebut.

“Kalian semua …”

Nindi melihat teman-temannya berada di atas panggung, memainkan drama yang diciptakan sendiri oleh Nindi.

“B-bagaimana mungkin?”

Nindi langsung melihat ke arahku. Aku hanya tersenyum padanya. Dirinya hanya tersipu malu dan mengalihkan pandangannya pada drama yang sedang berlangsung. Aku bahagia melihat dirinya yang tersipu malu dan bahagia.

Drama disajikan secara ringan namun menghayati. Mereka melakukannya dengan baik. Tidak sia-sia aku meminta mereka untuk menampilkan drama ini. Drama pun bergulir hingga narasi penutup dibacakan. Kini para lakon berdiri dan memberikan salam pada kami, penonton yang telah melihat penampilan mereka. Tepuk tangan kuberikan pada mereka. Ketika aku sadar bahwa Nindi tidak bertepuk tangan, aku langsung melihat ke arahnya. Aku melihat Nindi yang telah berliang air mata dan berusaha menutupi rasa harunya itu.

Sontak teman-temannya langsung menuruni panggung dan berlari menuju Nindi. Ada pula teman-temannya yang mengurusi belakang panggung juga mendatangi Nindi. Bahkan, temannya yang tidak ikut terlibat dalam drama tersebut datang dari samping auditorium. Mereka telah melingkari Nindi dan melepas rindu mereka. Ah, mereka merupakan teman yang sangat baik. Mereka tampak mengobrol akrab.

Dengan segala rasa segan, aku pergi menjauh sedikit membiarkan teman-teman Nindi melepas rindu pada Nindi. Setidaknya untuk terakhir kali. Aku juga melihat ada teman-temannya yang berfoto dengannya. Aku merasa kasihan pada mereka. Teman-teman Nindi tidak mendapat kabar sedikitpun mengenai Nindi. Aku memberitahu kondisi Nindi yang sebenarnya dan merencanakan perpisahan ini.

Tiba-tiba saja aku didatangi oleh salah satu teman Nindi. Aku mengingatnya! Dia adalah ketua kelas! Dia meminta waktuku untuk bicara. Aku pun menyanggupinya dan kami berjalan keluar auditorium.

“Terima kasih sudah memberitahu kami mengenai keadaan Nindi. Aku mendengar kamu juga merawatnya selama di rumah sakit.”

“Aku pikir kalian juga harus tahu. Lagipula, aku ingin meminta bantuan kalian mengenai drama ini. Aku pikir semuanya sukses. Terima kasih sudah mau menyelenggarakan drama ini.”

Dia mengangguk. Dari jauh terdengar suara riuh yang menyebutkan namaku. Ketika aku melihat ke belakang, aku menemukan Nindi yang telah menunggu dikelilingi teman-temannya.

“Bukankah kita masih ada kunjungan ke tempat lain?” tanya Nindi.

“Bagaimana dengan teman-temanmu?”

Nindi sedikit terdiam. Salah seorang temannya langsung berkata,

“TIdak apa-apa. Ini sudah lebih cukup bagi kami. Waktu kalian pendek, bukan?”

“Kalau begitu, baiklah. Terima kasih atas pengertian kalian.”

Aku mulai mendorong kursi roda itu kembali ke mobil. Perlahan mobil mulai melaju meninggalkan sekumpulan teman yang telah meluangkan sedikit waktu mereka untuk memberikan salam perpisahan. Aku hanya dapat memalingkan wajahku dari mereka.

Mobil melaju merayap dalam kemacetan. Melewati jalan protokol dan melintasi jalan-jalan yang biasa kulalui. Dalam 25 menit perjalanan, kami akhirnya sampai. Tujuan kami berikutnya adalah taman yang kini telah terbentang di depan kami. Benar, taman yang berada di dekat rumah Nindi dan sekolahku.

“Taman ini kan …”

Aku hanya tersenyum. Aku mengajaknya jalan-jalan memutari taman tersebut. Aku mulai bercerita,

“Kamu ingat tidak dengan pertemuan pertama kita di sekolah?” tanyaku pada Nindi.

“Maksudmu dalam mimpi kan?”

“Benar.”

“Tentu saja. Aku kaget melihat ada orang yang tiba-tiba saja memasuki auditorium sambil membawa bukuku.”

Kami saling bertatapan untuk sesaat dan kami langsung tertawa. Benar, momen-momen aneh itu entah kenapa dapat terjadi. Benar-benar sangat lepas dan santai. Sangat berbeda dengan sekarang. Kami mulai bercerita tentang pengalaman yang telah kami lalui bersama. Sangat lucu rasanya sekarang bila kami mengingatnya. Ketika kami saling berbicara itu, aku meihat sebuah bayangan.

Aku pun tersenyum dan mengangguk. Aku menghentikan kursi roda tersebut di bawah pohon yang rindang.

“Ah, sejuk sekali,” katanya.

Aku pun mulai meninggalkan kursi roda tersebut perlahan ketika Nindi mulai mengomentari sejuknya berada di bawah pohon tersebut.

Tugasku selesai di sini.

***

“Bukankah begitu, Rifki?”

Nindi yang tidak mendapat jawaban itu segera melihat ke arah belakangnya. Betapa terkejutnya dirinya ketika menemukan ibunya yang berdiri di belakangnya dan bukan RIfki.

“M-mama? Mana Rifki? Ah, maksud Nindi anak laki-laki yang se-”

Sebelum Nindi dapat menyelesaikan kata-katanya, Ibunya langsung menjawab,

“Mama tahu kok Rifki itu. Kami gantian sekarang.”

“Ha? Tapikan mama seharusnya sekarang di luar negeri!”

Ibunya terus mendorong kursi roda itu menuju pusat taman di mana ayah Nindi telah menunggu tanpa menjawab pertanyaan Nindi.

“P-papa?”

Nindi langsung terkejut melihat Ayah dan Ibunya berkumpul di taman ini. Sebuah taman yang membuat kenangan mereka bangkit kembali.

“K-kenapa ini? Ada apa ini sebenarnya?” Nindi pun tidak mengerti suasananya.

“Ada seorang anak laki-laki yang menghubungi Mama dan meminta sesuatu. Dia mengingatkan Mama pada hal yang penting. Mama bahkan tidak tahu kamu menjalani operasi.”

Ibunya langsung memeluk erat Nindi dengan penuh kasih sayang.

“P-papa?”

Ayah Nindi juga memeluk erat Nindi, mengutarakan perasaan rindu dan sayang mereka pada Nindi. Namun, hati Nindi masih berbelok pada satu orang yang hilang,

“J-jadi, kemanakah Rifki, Papa?”

“Dia mengatakan untuk minggir dari jalan dan penglihatanmu. Namun dia tidak akan melupakanmu, begitulah katanya. Dia berkata tidak dapat mengawasimu lagi.”

“T-tapi itu …”

Nindi tertunduk lesu. Sesaat kemudian, Nindi teringat akan sesuatu.

“Di manakah dia sekarang, Papa?”

“Mungkin dia sekarang sudah naik bus dari halte dekat sini.”

“Papa, aku punya satu permintaan.”

“Apa itu?”

***

Aku kini menaiki bus yang mengarah ke rumahku. Benar, aku kembali lari. Aku bahkan tak mengucapkan kata perpisahan padanya. Tidak, jika aku mengatakan hal yang demikian, keadaannya akan semakin memburuk dan aku tidak ingin hal itu sampai terjadi. Bus itu pun berjalan meninggalkan taman yang penuh kenangan itu. Kemudian pemandangan pun berganti dengan kota yang suram dan selalu kuliah setiap hari. Aku benar-benar pecundang.

Dalam perasaan sedih itulah aku merenung. Dengan hanya ada aku dan supir, aku merasakan suasana yang tenang di dalam bus tersebut. Apa aku bodoh? Mungkin saja. Apakah aku akan menyesali ini semua ? Biarlah. Aku tak sanggup lagi jika harus melalui drama yang sama lagi.

Tiba-tiba saja bus berhenti. Aku tak peduli lagi. Aku merasa hidupku benar-benar hampa. Namun, ketika aku mendengar suara gaduh, aku menjadi penasaran. Ketika aku melihat ke arah depan, aku melihat ada sebuah kursi roda yang mengarah padaku yang diduduki oleh orang yang kukenal.

“N-Nindi?”

Dia berusaha keras mendorong sendiri kursi rodanya ke tempat dudukku yang berada paling belakang.

“T-tunggu sebentar, Pak Supir!”

Aku segera membantunya. Setelah sampai di kursi yang paling belakang, aku memindahkannya dari kursi roda ke kursi penumpang agar dia tidak bergerak-gerak bersama kursi rodanya. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku. Aku tidak mengerti, kenapa dia bisa ada di sini?

“Kenapa kamu menekur seperti itu, Rifki?”

Aku hanya diam dan taku tmenjawab.

“Kenapa kamu lari dariku, Rifki?”

“Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa aku menghalangi jalan dan pandanganmu?”

“Tidak mungkin kamu menjauhiku karena kata-kata sepele itu. Apa yang kamu sembunyikan dariku? Aku telah percaya padamu dan memperlihatkan semua sisiku padamu. Kenapa kamu terus menutupi dirimu dariku?”

Aku geram. AKU SANGAT GERAM. Bagaimana tidak, aku harus menderita lagi karena kehilangan orang-orang yang kucintai. Sayatan yang dibuat oleh Rena belum sembuh hingga sekarang dan kini sudah ada luka baru yang muncul. Aku mohon, beri aku istirahat. Aku takut, aku tidak kuat menahan rasa sakit ini dan pecah berkeping-keping.

“INI SEMUA KARENAMU!”

“Karenaku?” tanyanya polos.

“BENAR! Kamu akan …”

Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.

“Benar. Aku tidak bertahan cukup lama. Karena itulah kamu melakukan semua ini bukan? Tanpa orang-orang memberitahuku, aku juga tahu. Aku tentu tahu kondisi tubuhku. Dan aku yakin ini bukanlah salah Papa atau siapa-siapa. Takdirlah yang kini bekerja.”

“Karena itu juga kamu melontarkan kata-kata itu, bukan?”

“Benar. Aku tidak ingin kamu terluka karena aku. Sepertinya kematian adikmu sudah membuat luka yang dalam untukmu. Aku pikir, aku bisa melakukannya. Namun, semakin kupaksakan semakin sakit pula dadaku ini. Karena itu, dengan keegoisan itulah aku sekarang berada di sini.”

Aku hanya dapat terdiam tanpa berkata-kata. Nindi tiba-tiba menyandarkan tubuhnya di bahuku. Dengan pelan ia berkata,

“Kamu telah menghalangi jalanku. Jalan yang membuatku semakin dekat dengan Tuhanku. Kamu telah menghalangi pandanganku. Pandangan untuk maju ke depan dan tidak larut dalam kesedihan. Aku terlalu terpaut padamu, Rifki. Aku mencintaimu.”

Aku merasakan sebuah kecupan pelan mendarat di pipiku. Namun, aku tak sanggup melihat ke arahnya. Karena, pipiku kini telah basah oleh air mata. Aku tak sanggup mengatakan kata-kata perpisahan. Aku benar-benar yang terburuk.

Dia terus bersandar padaku tanpa mengatakan apapun lagi. Akhirnya, dalam perjalanan singkat itulah aku memutuskan untuk mengucapkan kata selamat tinggal padanya. Ketika aku melihat ke arahnya, dia telah menutup matanya. Aku tidak percaya ini.

“Nindi? Nindi? Bangunlah, Nindi!”

Aku menggoncang tubuhnya tapi aku tidka dapat merasakan sebuah perlawanan. Tubuh itu hanya lemas dan tak berdaya. Aku juga melihat wajahnya yang sudah dibahasi air mataku, tak ubahnya sepertiku.

“Nindi?”

“Nindi? Bangunlah!”

“Kenapa kamu meninggalkanku sendiri seperti ini?”

“Aku bahkan belum menjawab perasaanmu.”

“Apa begini caramu meninggalkanku?”

“Kenapa kamu sangat kejam, Nindi? Berani sekali kamu meninggalkanku ketika kamu mengucapkan kata-kata itu, Nindi!”

Dia tak menjawabku. Kata-kataku hanya menjadi suara yang tak lagi di dengar. Dalam rasa sedih itu aku memeluk erat Nindi. Aku tak kuasa menahan semua rasa sedih itu. Aku luapkan semuanya di sana.

“NINDI!!!!”

Suara kerasku tak berarti apa-apa bagi Nindi. Hanya Pak Supir yang terkejut mendengar suaraku dan langsung menghentikan busnya. Ini adalah cara perpisahan yang paling tidak kuharapkan dari drama kita, Nindi. Bagaimana engkau tega melampiaskan egoismemu padaku? Aku tak sanggup. Aku hanyalah makhlukNya yang rapuh. Aku sungguh tak berdaya.

***

Di hari pemakaman Nindi di hari Senin, aku melihat nisannya yang terukir indah. Di sana bertuliskan namamu. Aku masih tak dapat menerima semua ini. Kenapa kamu meninggalkanku setelah kamu mengungkapkan perasaanmu padaku?

“Benar, tidak hanya dirimu yang telah mencintaiku. Aku pun telah mencintaimu dan merasa terpaut padamu. Hatiku kini ada untukmu dan kamu pergi meninggalkan aku bersama drama yang belum selesai kita tulis bersama.”

Ayah dan Ibu Nindi memberikan sebuah kotak dan padaku di hari pemakaman Nindi. Mereka mengatakan menemukan kotak tersebut di bawah bantal Nindi dan seharusnya diberikan padaku. Aku membawanya pulang dan memeriksa isinya. Betapa terkejutnya diriku ketika menemukan isinya adalah sekumpulan fotoku dan naskah-naskah yang pernah aku buat. Kenapa dia memiliki semua ini?

Tiba-tiba saja telepon genggamku berbunyi. Aku melihat ke arah teleponku dan menemukan sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal. Ketika aku buka, ternyata sebuah pesan suara. Aku membuka pesan suara tersebut.

Halo-halo? Test test test …

Oh, apa kamu bisa mendengarku, Rifki? Ini adalah rekaman yang kubuat beberapa hari yang lalu sebelum aku operasi. Aku merasa gugup menyampaikan pesan ini. Aku merasa malu. Sebenarnya, aku sudah menyukaimu dari dulu. Aku menyukai drama-drama yang kamu tampilkan. Tapi itu semua belumlah sangat berarti hingga aku melihat dramamu yang berjudul “Langkahku”. Aku yang awalnya sudah putus asa akan  nasib dan masa depanku, tercerahkan melihat dramamu. Sebuah drama yang menceritakan bagaimana perjuangan seorang buta dan lumpuh dalam menghadapi hidup. Aku benar-benar kagum ketika kata itu disebut,

“Percayalah pada keajaiban meski kamu merasa hal tersebut mustahil. Meskipun keajaiban tak datang padamu, hidup ini akan merasa indah ketika kamu berusaha menggapai keajaiban itu sendiri. Dan dengan sendirinya kamu menyadari bahwa hidup itu sendiri adalah keajaiban!”

Aku merasa mendapatkan kembali tujuan hidupku . Meski dramamu harus berakhir sedih dengan kematian si buta nan lumpuh itu, kamu telah mengajarkan bahwa itulah hidup. Penuh dengan rasa senang dan sedih dan dibumbui keajaiban. Inilah keajaiban untukku. Dapat bertemu denganmu dan mencintaimu, aku merasa sangat beruntung. Bahkan jika aku harus gagal dalam operasi ini, aku kini dapat tersenyum. Hidupku ini meski singkat namun sangatlah berarti. Maaf jika aku harus membuat kembali terluka. Tapi terima kasih sudah mendatangi hidupku. Kamu sangatlah berarti bagiku. Meskipun tubuhku harus hancur dimakan tanah, jangan biarkan ingatan kita bersama harus mati ditelan waktu.

Sepertinya waktu rekamanku hampir habis. Jadi, inilah perpisahan kita. Inilah sebuah kata terakhir yang tak mampu kuucapkan padamu, Rifki.  Maafkan aku telah masuk ke dalam hidupmu dan membuatmu menderita. Aku mencintaimu. Selamat tinggal.

Rekaman itu pun berakhir. Aku tak dapat menahan rasa sedih dan air mataku. Aku memeluk kuat teleponku dan berharap dia masih di sini. Namun penyesalan tiada gunanya. Aku telah kehilangan dirinya dan kini drama yang kami tulis bersama itu terbengkalai dan tak bertuan lagi.

***

“Apakah kamu tetap akan menjadi dokter, Rifki?” tanya ayah Nindi padaku ketika kamu kebetulan bertemu di jalan. Sekitar dua bulan setelah kematian Nindi.

“Ya. Saya masih ingin menyelamatkan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.”

“Kalau begitu, Bapak ingin memberikan beasiswa padamu.”

“B-benarkah?”

“Kamu sudah menjaga Nindi selama ini. Bapak juga yakin, Nindi juga senang bila kamu menjadi dokter.”

Aku hanya dapat tertegun. Jika benar, aku akan mengambil hak yang seharusnya milik NIndi. Tapi aku siap menanggung tanggung jawab itu dan dengan hal tersebut aku akan terus mengingatnya, seorang perempuan cantik yang tak kuasa kulupakan. Seorang gadis yang telah membawa hatiku pergi bersamanya dan pergi meninggalkanku.

“Baiklah, Pak,” jawabku mantap.

***

Sudah beberapa tahun berlalu. Aku kini yang menyandang spesialis penyakit dalam terus membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit di mana aku kehilangan dirimu, Nindi. Aku kini berdiri di atap rumah sakit sambil memandang langit. Mengingat waktu singkat yang pernah kita lalui bersama. Aku memang bodoh. Tapi aku akan terus berjalan maju meskipun pelan dalam menempuh hidup ini. Inilah buktiku akan janjiku padamu. Sebuah langkah pelan meninggalkan dramaku.

Sejak kepergianmu di hari itu,
Aku telah berubah meski hatiku masih tetap terpaut padamu.
Dapatkah kamu tersenyum sekarang?
Melihat diriku yang terus berjalan menghadapi keajaiban ini?

Dirimu sangatlah kejam
Memberi kenangan indah padaku
Kemudian pergi meninggalkan luka di hatiku.
Aku merindukanmu,
Kemanakah aku harus melepaskan rindu ini?

Jikalau kita memang tidak mungkin bertemu sekarang, aku akan menunggu hingga waktu itu tiba.
Bersama langkah pelan meninggalkan dramaku ini,
Aku akan meniti jalan terbaik bertemu denganmu
Di surga kelak


=================/TAMAT/=====================

Kembali ke Menu

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 8 [END] Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar