Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Alternative Ending OS [Other Side] x Paramedic Journal Life
#LiNEsicklit_event

Genre :
Slice of Life, Psychological, Romance, Tragedy, Drama

Kaki tak langkah menghadap surya,
Surya hilang ditelan malam
Rembulan hilang ditelan bintang
Bintang hilang ditelan awan

Langit biru yang tak biru,
Kelam dan gelap memakan birunya
Sunyi dan sendu hanya terdengar
Malam yang gelap,

Meski dicari jua,
Tiada mungkin langit itu biru,
Kecuali sang surya kembali
Malam pun lenyap

Burung hantu muda berlayar di gelapnya malam,
Mencari kebijaksanaan yang hilang
Dan sadar akan malam lekat selalu padanya
Burung hantu muda tanda diriku


“Aku benci hidup ini,”

Itulah kata-kata yang terucap dari mulutku ketika aku menemukan kebenaran setelah diriku tak sadarkan diri. Aku melihat kakiku tak lagi mampu kugerakkan dan kenyataan bahwa Ibu yang selalu berada di sisiku telah kembali ke tanah, semuanya membuatku membenci hidupku ini. Aku kini tak berdaya. Dengan kaki yang lemah ini, dengan hidup tanpa kehangatan ibu, jadi apakah aku ini?

Mataku melihat seorang perawat yang masuk. Seorang perawat yang mengenakan baju putih yang khas dan berbau harum. Di papan namanya tertulis Amamiya Setsuna.

“Sudah waktunya kamu untuk bilas, Rendi,” ucap perawat tersebut.

Aku dapat berbuat apa? Aku hanya dapat menuruti kata-katanya. Setelah membuka bajuku, diusapnya dengan pelan seluruh tubuhku dengan kain yang lembab. Perasaan malu, sedih, dan tak berdaya semuanya bercampur aduk menjadi satu. Entah apa yang berusaha direncanakan-Nya, tapi inilah jalan berliku yang harus kulalui.

“Bolehkah aku ke atap?” tanyaku pada perawatku ini.

Dia tersenyum dan menjawab,

“Tentu saja.”

Setelah selesai bilas, aku pun diantarkannya dengan kursi roda menuju atap. Dalam perjalanan menuju atap, aku mulai memikirkan kejadian yang menimpaku. Sudah satu minggu sejak kecelakaan yang merenggut nyawa ibu dan kakiku ini berlalu.  Aku benar-benar shok ketika mengetahui kenyataannya. Namun apa daya, aku tak kuasa mengembalikan semua yang telah terjadi.

Setelah sampai di atap, aku meminta agar aku ditinggal sendirian. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaannya karena keegoisanku. Aku mulai memutar roda kursiku pelan menuju ujung atap ini. Di antara selimut-selimut yang dijemur, aku berusaha melewatinya. Di antara sayup-sayup angin yang membelai, aku mendengar suara tawa yang sangat hidup dari tempat kematian ini. Aku terus memutar kursi rodaku menuju suara tersebut. Aku menemukan dua orang yang terlihat berbicara dengan sangat santai di salah satu bangku yang ada di atap ini. Salah satunya adalah seorang perempuan yang berusia 25 tahunan sedangkan yang satu lagi adalah seorang gadis yang berusia sekitar 17 tahunan yang kemungkinan sebaya denganku.

Mereka berhenti berbicara ketika melihatku. Gadis yang seumuran denganku itu pun turun dari bangku tempat dia duduk.

“Apa kamu mau bergabung bersama kami?” tanyanya penuh semangat.

“Ah ... aku hanya kebetulan lewat saja,” jawabku agak canggung.

“Kalau begitu, bergabunglah bersama kami!”

Dia kemudian mendorong kursi rodaku ke arah bangku tersebut dan mulai bertanya mengenai diriku.

“Kamu siapa? Aku sepertinya baru melihatmu,” dia terus bertanya dengan mata yang penuh cahaya semangat.

“Namaku Rendi Ganti. Panggil saja Rendi,” jawabku datar.

“Oh, Rendi! Kalau begitu kamu bisa memanggilku Vela!”

Kakak yang duduk di samping Vela pun juga memperkenalkan dirinya,

“Nama Kakak adalah Nindi. Kamu bisa panggil Kak Nindi,” jelasnya.

“Baiklah, Vela, Kak Nindi,” jawabku sedikit kaku.

Mereka berdua tertawa ketika mendengar jawabanku. Aku pun bertanya-tanya kenapa.

“Kamu jangan terlalu kaku begitu,” terang Vela.

Kak Nindi hanya tersenyum melihatku. Aku jadi tersipu malu pada kedua perempuan ini. Dengan cepat Vela meraih kursi rodaku.

“A-aada apa?” tanyaku.

“Aku akan membawamu ke tempat yang bagus. Di sini pemandangannya terhalang oleh selimut. Kami pergi dulu ya, Kak Nindi!”

“Iya, hati-hati di jalan.”

Vela kemudian mendorong kursi rodaku menuju ke tempat yang tidak aku tahu. Kami hanya melintasi lantai-lantai yang ada di rumah sakit ini. Ketika kami sampai di lantai dua, seorang dokter mengingatkan Vela,

“Jangan terlalu bersemangat, Vela. Ingat juga badanmu!” ingat dokter tersebut.

“Baiklah, dokter Rifki!”

Dia seolah tak mengacuhkan saran dokternya dan terus mendorongku ke arah lantai satu. Tidak berhenti sampai di sana, dia terus mendorongku hingga sampai di taman rumah sakit. Namun, aku takjub dengan apa yang aku temukan. Sebuah taman bunga yang sangat indah di rumah sakit tersebut.

“Indah sekali …,” kataku refleks.

“Benar kan? Ini adalah kerja keras Kak Nindi. Indah bukan?”

Kali itulah pertama kalinya aku terpesona. Mungkin hanya beberapa petak tanah yang ditanami tanah oleh orang lain tapi bagiku terlihat seperti surga kecil. Entah kenapa bunga-bunga itu mengingatkanku pada Ibuku. Air mataku tiba-tiba saja keluar. Sedih dan kerinduan yang tak dapat menghilang ini, aku benar-benar cengeng.

Vela memelukku pelan. Dia berbisik pelan,

“Jangan khawatir, jangan khawatir. Kesedihan pergilah yang jauh!” bisiknya selayaknya anak kecil.

Akan tetapi hatiku terasa tenang dan kata-katanya mengalun layaknya melodi yang memanjakan telinga. Bersama waktu yang berlalu, kesedihanku perlahan menghilang. Ketika aku melihat ke arah Vela, dia kembali tersenyum. Entah kenapa perasaanku mulai berubah ketika melihat senyumnya. Dia tidak sepertiku, penuh kebahagiaan tapi kenapa dia harus di rumah sakit sepertiku?

“Kenapa kamu harus dirawat di rumah sakit?” tanyaku pelan.

Dia tersenyum dan menjawab,

“Tubuhku agak lemah. Jadi aku harus menjalani perawatan di sini.”

“Begitukah? Aku harap kamu cepat sembuh,” jawabku tulus.

“Amin,” jawabnya sambil tersenyum.

Kami menghabiskan waktu hingga sore hari. Kami pun kembali ke kamar masing-masing. Entah kenapa ditemuan pertama kami ini aku merasa sangat senang. Aku hanya tersenyum dan bergumam bahwa inilah yang disebut cinta pada pandangan pertama.

***

Keesokannya, aku membawa beberapa kertas origami ke atap. Dia terlihat cukup antusias saat melihatnya. Aku dengan cepat membuat sebuah burung, cukup sederhana tapi cukup menarik perhatiannya. Aku memang menguasai seni origami dengan cukup baik. Dia terlihat tertarik dengan origami. Aku tersenyum dan mulai mengajarkannya beberapa cara membuat origami yang sederhana. Aku sedikit heran di mana Kak Nindi berada.

“Kak Nindi? Dia ada pengecekan rutin hari ini bersama dokter Rifki. Dia mungkin tidak akan datang hari ini,” jawab Vela.

Aku hanya bisa memaklumi dan terus menghabiskan waktuku bersamanya. Keesokan harinya, dia datang membawa beberapa buku mengenai bintang dan alam semesta. Ada beberapa buku astronomi yang berisikan berbagai persamaan yang bisa membuat orang-orang gila dan beberapa buku yang berisi penjelasan mengenai bintang dan alam semesta serta buku ensiklopedia bintang dan alam semesta.

Aku mengambil sebuah buku yang berjudul “Alam Semesta dan Rahasia Energi yang Tak Pernah Habis”. Dia tiba-tiba berseru,

“Oh, pilihan bagus! Itu buku yang menarik! Aku pinjamkan padamu jadi bacalah!” dia berkata hal tersebut dengan wajah riangnya.

“B-baiklah tapi aku boleh tahu kamarmu? Aku ingin mengembalikannya jika sudah selesai.”

“Kamu bisa mengembalikannya kapan-kapan tapi jika kamu memang perlu … kamu bisa mengunjungi kamar nomor dua ratus empat puluh tiga.”

Aku cukup terkejut, kami berada di lantai yang sama tapi berbeda blok. Aku berada di nomor dua ratus sembilan sedangkan dia berada di dua ratus empat puluh tiga. Aku hanya tersenyum dan berkata akan mengembalikan secepatnya. Bersama senja yang mulai datang, kami pun meninggalkan atap dan kembali ke ruangan masing-masing. Aku bisa sedikit tersenyum sekarang, setidaknya ada sedikit kebahagiaan di tempat kecil penuh penderitaan ini.

Setelah bersih-bersih dan lain sebagainya, aku segera mengambil buku yang dipinjamkannya tadi. Betapa terkejutnya aku ketika melihat sebuah buku lain terjatuh dari buku yang dipinjamkannya.

“Apa ini tercecer?” gumamku.

Aku melihat ke arah jam dinding dan melihat jam yang menunjukkan pukul delapan malam. Aku pikir tidak apa-apa, masih belum terlalu larut untuk mengembalikannya. Aku pun segera meraih kursi roda yang tepat di sebelah tempat tidurku dan perlahan duduk di atasnya. Ketika semua siap, aku mengambil buku tersebut dan meletakkannya di pahaku dan mulai mengayuh roda kursiku. Kami berbeda blok perawatan yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Aku pun mulai terus memutar rodaku hingga hampir sampai di kamarnya. Hanya ada sebuah rintangan sebelum mencapai ruangannya yaitu lorong yang agak gelap dan sedikit menakutkan.

Aku mengambil napas dalam dan mulai melewati lorong gelap itu. Hatiku cukup berdebar karena sangat hening. Belum aku mencapai ujung lorong ini, tiba-tiba saja sebuah teriak terdengar dan membuat bulu kudukku merinding. Karena ketakutan, aku segera berputar dan mengayuh secepat mungkin roda kursiku hingga kembali ke kamarku. Aku hanya dapat mengambil napas dengan baik ketika kembali ke kamarku. Suara apa tadi itu? Apakah hantu yang mendiami rumah sakit ini? Aku tak kuasa memikirkannya dan langsung kembali ke ranjangku dan tidur, berusaha melupakannya.

***

Aku kembali bertemunya keesokan harinya dan mengembalikan buku tersebut.

“Ini bukumu yang tercecer kemarin,” kataku padanya dengan sedikit rasa takut karena bayang-bayang teriakan kemarin.

“Oh itu bukan tercecer. Aku memang sengaja meletakkannya supaya kamu bisa baca. Itu buku yang masih ditulis orang yang sama. Aku yakin kamu pasti tertarik,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh begitu. Baiklah, akan kubaca keduanya.”

Ketika kami asyik bicara, terlihat Kak Nindi datang membawakan sesuatu. Ketika dia memperlihatkannya pada kami, ternyata itu adalah skrip naskah drama. Ada beberapa dan dia menawarkan beberapa judul pada kami. Namun, ketika Vela bertanya yang mana judul favorit Kak Nindi, dengan cepat Kak Nindi mengambil salah satu skrip dan mengeluarkannya dari tumpukan.

“Ini dia! Judulnya adalah Langkahku!” ucap Kak Nindi semangat.

“Mau aku bacakan?” tanya Kak Nindi dengan senyum.

“Tentu saja!” jawab Vela.

Aku hanya mengangguk tanda setuju. Terlihat Kak Nindi mulai bersiap-siap dengan mengambil tempat di atas atap tersebut. Terlihat dia mulai membacakan dengan intonasi rendah yang cukup membuat orang-orang tertarik. Aku mulai mendengarkan monolog tersebut. Sebuah drama yang ditampilkan sendiri oleh Kak Nindi, dia begitu luar biasa. Kemampuannya dalam memainkan memang tidak bisa disanggah lagi. Kenapa dia harus berakhir di rumah sakit seperti ini? Aku ingin bertanya tapi ku urangkan niatku untuk berkonsetrasi pada cerita.

Langkahku, bercerita mengenai seorang yang buta lagi lumpuh dalam menjalani sisa hidupnya. Benar-benar, pemilihan kata yang luar biasa. Aku hanya dapat tertegun, merasa malu pada diriku yang depresi dan stress. Kata-katanya yang luar biasa membuatku tertegun.

Hidup itu adalah keajaiban

Mungkin memang benar. Hidup ini adalah keajaiban yang tak dapat dijelaskan. Aku hanya dapat memberikan tepuk tanganku pada drama yang indah. Penampilan Kak Nindi yang memukau juga menambah keindahan drama ini. Di sela-sela tepuk tangan itu, muncullah suara yang agaknya pernah kudengar.

“Bukankah sudah kubilang untuk tidak terlalu aktif? Kamu perlu menjaga fisikmu, Nindi. Kamu baru saja cek kemarin.”

Ketika kulihat ke arah sumber suara tersebut, aku menemukan bahwa orang tersebut ialah dokter yang pernah bicara pada Vela.

“Ah, Rifki. Jangan begitu, ini hanya sesekali, kok.”

Benar juga, namanya Rifki, dokter Rifki. Terlihat dia menghela napasnya ketika mendengar kata-kata dari Kak Nindi. Mereka terlihat cukup akrab.

“Apakah Kak Nindi mengenal dokter Rifki?” tanya Vela.

“Tentu saja,” jawab Kak Nindi.

“Apa kalian berpacaran?” Vela terlihat semakin penasaran.

“Tidak lagi,” terang Kak Nindi.

Baik aku maupun Vela terkejut mendengarnya. Vela pun langsung tertawa dan berkata,

“Hahaha, kasian sekali dokter harus kehilangan kesempatan pacar seperti Kak Nindi!”

Kak Nindi hanya tertawa geli. Terlihat dokter Rifki sedikit cemberut dan berkata,

“Jangan berkata yang aneh-aneh, Nindi. Tentu saja kami tidak berpacaran lagi. Dia sekarang adalah istriku, Vela.”

Aku dan Vela langsung kikuk mendegarnya. Kak Nindi tertawa melihat reaksi kami.

“Hihihi, kalian kena juga,” komentar Kak Nindi.

“Ah, Kak Nindi bohong,” celoteh Vela.

Kami pun tertawa melihat reaksi Vela. Kak Nindi kemudian berkata,

“Kalian juga harus tahu yang membuat drama tadi adalah Rifki, loh.”

Vela pun langsung bertanya banyak hal pada dokter Rifki yang … membuatku iri. Benar-benar iri. Namun, harus ku akui bahwa tadi itu adalah drama yang luar biasa. Kami berempat pun mulai berbincang banyak hal tapi utamanya adalah mengenai masa lalu dokter Rifki dan Kak Nindi di rumah sakit ini.

***

Rifki terlihat memasuki ruangan salah satu pasien yang kini sedang ditanganinya. Rifki disambut dengan sebuah senyum yang hangat, sebuah pemandangan yang cukup tragis ketika dokter mendapatkan senyuman tersebut dari seorang pasien yang mengidap penyakit yang cukup menyiksanya.

“Surat dari Pengadilan Tinggi telah sampai di ruanganku. Mereka telah menyetujuinya. Bagaimana dengan keputusanmu sekarang, Vela?”

Vela yang masih tersenyum itu menjawab,

“Saya butuh waktu sedikit lagi, dokter. Maukah Anda menunggu sebentar lagi?”

“Akan lebih baik jika aku mendengar kata ‘tidak’ darimu. Aku mengandalkanmu.”

“Terima kasih, dokter Rifki.”

Rifki melangkah pelan meninggalkan ruangan tersebut dengan wajah suram dan bergumam,

“Sungguh malang nasibnya.”

***

Sayang sekali hari ini hujan. Dia tidak mungkin ada di atap maupun di halaman sekarang. Aku memutuskan untuk mengunjungi kamarnya dan untungnya di siang hari lorong itu tidak terlalu menyeramnkan dan banyak orang lalu-lalang di sana. Aku cukup terkejut ternyata Vela duduk di salah satu bangku yang ada di lorong tersebut. Namun, aku melihatnya dengan wajah yang murung, sangat murung dan sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

“Bagaimana rasanya ketika waktumu telah ditentukan?” tanya Vela padaku.

Aku pun langsung terkejut. Apa maksud kata-kata itu?

“Apa maksmudmu mengatakan hal tersebut, Vela?”

“Surat dari pengadilan telah sampai padaku.”

“Tentang apa? Apa kamu melakukan kejahatan?”

Dia menggeleng. Dengan pelan, Vela menjawab pertanyaanku,

“Surat mengenai permintaanku untuk Eutanasia[1],” dia mengucapkan dengan wajah yang sedih.

“Eutanasia? K-kenapa kamu mengajukan hal tersebut? Apa kamu sudah menyerah?”

Dia mengangguk dengan air mata yang berkaca-kaca. Seketika itu juga hatiku teriris. Bagaimana mungkin dia yang selalu tersenyum dan ceria dapat menyerah seperti itu?

“Sangat sakit, setiap malam ku lalui dengan rasa sakit. Dadaku seolah diinjak dengan kuat dan membuatku sangat sulit bernapas. Terkadang memejamkan mata pun sulit. Setelah keluargaku setuju dengan hal tersebut, kami memutuskan mengajukan hal tersebut ke pengadilan. Kemarin, keputusan telah dikeluarkan dan mereka mengizinkannya.”

Terlihat dia menjelaskan dengan air mata yang mulai turun menghiasi wajahnya.

“Aku hanya tidak ingin bertanya padamu, apakah aku salah melakukan semua ini?” tanyanya padaku.

Apa ini? Kenapa dia membebankan hal seberat itu padaku? Kenapa dia membebankan hidup dan matinya padaku? Aku hanyalah seseorang yang sekedar lewat. Kenapa? Kenapa? Tapi, aku tidak bisa mengotori tanganku dengan mengatakan bahwa kamu boleh mati, tidak, tidak, TIDAK! Aku segera mendekatinya dan memeluknya, membuang semua rasa maluku dan hanya berkata di dekat telinganya,

“Aku tidak ingin kehilangan seseorang yang berarti bagiku lagi. Cukuplah Ibuku yang harus direnggut dariku. Aku mohon, jangan ada yang pergi lagi!”

Aku memeluknya cukup kuat. Tak terasa air mataku keluar, aku hanya tak ingin kehilangan seseorang lagi. Aku tidak mampu menahan semua cobaan ini. Hatiku belum siap menerimanya. Aku merasakan dia juga membalas pelukanku dan serasa dunia yang kecil ini menjadi milik kami berdua. Hidup itu memang aneh, dan ajaib.

***

Hari itu berlalu tanpa sebuah senyuman. Hari yang benar-benar suram, selayaknya kemarin. Namun, hari ini cuaca tidak kunjung membaik. Aku kembali menyusuri lorong suram tersebut namun Vela tidak di sana. Ketika aku sampai di depan kamarnya, aku mendengar beberapa keributan di dalamnya. Hanya saja, kaca untuk melihatnya terlalu tinggi sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba saja sebuah teriakan terdengar dari dalam ruangan Vela, sebuah teriakan yang hampir sama dengan teriakan yang kudengar di malam itu.

Mungkinkah? Mungkinkah selama ini dia terus kesakitan sepanjang malamnya? Aku tidak mengerti kenapa dia masih bisa tersenyum dengan rasa sakit seperti itu. Apa yang diharapkannya dari senyum yang diumbarnya? Ketika aku berusaha menguping, aku mendengar suara samar-samar dari dokter Rifki dan suara lain yang tidak kuketahui yang dari siapa. Mereka terlihat berusaha meredakan sakit yang diderita Vela tapi teriakan Vela benar-benar menggambarkan betapa menderita dirinya.

Aku hanya dapat tertegun di depan pintu penderitaan itu. Apa benar, keputusanku untuk terus membuatnya menderita seperti itu adalah pilihan yang terbaik? Aku hanya dapat terjatuh dalam jurang keragu-raguan. Apakah keegoisanku telah membunuhnya perlahan? Aku hanya dapat tenggelam dalam lautan kesedihan. Tiba-tiba saja pintu itu terbuka dan sebuah suara merambah telingaku.

“Terus berada di sini akan menghancurkan seluruh jiwamu dan menghilangkan akalmu.”

Terlihat kata-kata tersebut berasal dari dokter Rifki dan di belakangnya ada perawat Amamiya yang merupakan suara yang tak kuketahui tadi.

“Amamiya, bisakah kamu membawanya kembali ke kamarnya?”

“Baik, dokter.”

Perawat Amamiya segera memegang pegangan kursi rodaku namun aku memberontak saat itu. Batinku menolak untuk pergi.

“Lepaskan aku! Aku tidak akan kemana-mana!”

“Tapi kamu tidak boleh mengganggu Vela. Ayo, Rendi kita kembali ke kamar,” ucap perawat Amamiya lembut padaku.

“Biarkan dia Amamiya,” seru dokter Rifki.

“Tapi dokter …,”

“Tidak apa-apa. Jika dia memang ingin di sini, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya, kamu harus berjanji tidak mengganggunya dan pasien lain. Dia baru saja bisa beristirahat. Jangan buat kedatanganmu menjadi beban baginya.”

Dokter Rifki dan perawat Amamiya pergi meninggalkanku di depan pintu kamar itu. Aku hanya dapat memukul keras kedua pahaku. Apa yang telah aku lakukan? Apa kehadiranku hanya menghalanginya untuk mendapatkan ketenangan baginya? Aku pun hanya dapat terduduk di depan pintu itu sampai ia dapat tersenyum kembali. Setidaknya aku ingin mengungkap semua perasaanku padanya.

***

Aku tersentak. Aku tidak menyangka bahwa aku tertidur. Aku pun menyadari bahwa kursi rodaku didorong oleh seseorang. Sontak saja aku melihat ke belakang dan menemukan bahwa Kak Nindi lah yang mendorongnya.

“Maafkan aku, apa aku membangunkanmu, Rendi?” tanya Kak Nindi lembut padaku.

“Tidak, tidak apa-apa,” jawabku entah dengan wajah seperti apa.

Hatiku masih berkecamuk. Aku tidak tahu harus apa terhadap kondisi Vela. Kak Nindi terus mendorongku hingga ke ruang tunggu dan membeli dua buah kaleng jus jeruk.

“Ini, untukmu, Rendi.”

“Terima kasih, Kak.”

Aku meminumnya seteguk lalu memegangnya tanpa ada hasrat untuk meminumnya.

“Aku dengar dari Rifki kamu mendengar keadaan Vela yang sebenarnya.”

Aku hanya mengangguk pelan. Aku pun bertanya,

“Apa penyakit yang dideritanya hingga seperti itu?”

“MG atau Myasthenia Gravis. Sebuah penyakit yang membuat imun tubuh menyerang jaringan otot. Semakin banyak bergerak, makin gencar pula imun akan menyerang jaringan ototmu. Benar-benar tragis ketika imunnya menyerang bagian otot pernapasan dan jantungnya. Dia sangat segar di pagi hari namun sangat lemah di malam hari setelah seharian beraktivitas. Dia sudah menanggung rasa sakit itu sejak umur lima tahun.”

Aku terhenyak mendengar penjelasan dari Kak Nindi. Sejak umur lima tahun hingga sekarang dia terus menahan rasa sakit itu?

“Berbagai obat telah di coba tapi reaksi autoimunnya tetap berlangsung. Karena itu, dia menghabiskan banyak waktunya di rumah sakit. Keadaannya semakin parah satu tahun ini. Terutama sejak autoimunnya mulai menyerang otot pernapasannya. Dia terus tersenyum hanya untuk dua hal, membuat dirinya terhindar dari stress dan ingin meninggalkan kesan bahagia pada semua orang. Dia ingin membuat orang lain mengingatnya karena betapa riangnya dia dan bukan betapa murungnya dia.”

Terlihat Kak Nindi mulai tertunduk. Meski begitu, dia tetap meneruskan ceritanya,

“Sejak keadaannya semakin parah, enam bulan yang lalu dia memutuskan untuk Eutanasia[1] dan mengajukannya ke pengadilan setelah semua keluarga memahami kondisinya. Suratnya telah sampai dan pengadilan mengizinkannya. Namun, dia berkata dia butuh waktu untuk memutuskan. Hingga sekarang, Rifki belum mendapatkan jawaban apapun darinya.”

Aku semakin terluka. Betapa tidak? Dia terus bertahan dalam keadaan sakitnya hanya demi egoku. Aku tak yakin jika aku dapat dikatakan sebagai manusia jika ini terus berlanjut. Aku mulai membuka diriku pada Kak Nindi,

“Sebenarnya dia bertanya padaku mengenai keputusannya. Apakah salah jika dia melakukannya? Aku hanya mengungkapkan perasaanku bahwa aku tidak ingin kehilangan orang-orang yang sangat berharga. Aku hanya mengikuti egoku dan kehilangan arah lalu membuatnya menderita.”

Kak Nindi memeluk pelan Rendi.

“Kamu seperti Rifki dulu. Ketika aku ingin mengambil operasi transplantasi jantungku. Dia berusaha sangat keras untuk menghentikanku dan membuatku seperti orang bodoh. Namun, beginilah hidupku. Memang aku bahagia bisa terus bersama namun di sisi lain ada sedikit rasa sedih dan menderita harus hidup terkekang di rumah sakit ini. Namun, Rifki bersedia menanggung beban yang sama itu denganku dan itulah yang membuatku senang. Sekarang, keputusan berada di tanganmu, Rendi. Kamu hanya punya satu pilihan dan pilihlah dengan bijak. Tidak memutuskan sama kamu berkata tidak. Ingat itu, hidup ini hanya sekali. Jangan kamu sia-siakan.”

Kak Nindi pun menghentikan perbincangannya. Dia kemudian mengantarkanku ke kamarku. Di ranjangku aku hanya bisa menangis dan tak tahu harus melakukan apa. Tuhan, haruskah kulumuri tanganku dengan darahnya agar ia dapat tersenyum?

***

Hari demi hari kutunggu dirinya di depan pintu itu namun ia tak pernah kunjung keluar. Keadaannya semakin memburuk. Erangan kesakitannya semakin sering terjadi. Aku terus menyiksanya. Benar, aku harus menyelesaikannya sekarang atau tidak sama sekali. Di hari itu, Minggu yang cerah, aku masuk ke dalam kamarnya. Dia terlihat telah sadar dan keadaannya cukup stabil meski alat bantu pernapasan telah dipakaikan untuknya.

Aku mulai mendekatinya dan memegang lembut tangannya. Dia semakin kurus. Ketika aku melihat ke wajahnya, dia masih berusaha tersenyum padaku. Hatiku semakin sakit. Seolah dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan akan terus memperjuangkan hidupnya dalam sakitnya demi egoku itu.

“Sudah, hentikan semua sandiwara ini, Vela.”

Terlihat dia kehilangan senyumannya. Mataku telah berkaca-kaca, tak mampu menahan rasa sedih yang telah kupikul ini.

“Aku terlalu egois untuk menjadikan dirimu seolah menjadi milikku. Kamu harus menderita demi memenuhi egoku dan aku tidak ingin itu terjadi. Lihatlah, betapa menderitanya dirimu ini. Bahkan senyummu itu tak dapat menyejukkan hatiku lagi. Aku mencintaimu tapi apakah gunanya rasa cintaku itu jika hanya menyiksa hidupmu? Aku tak tahan, aku tak kuasa menahannya sendiran. Jika eutanasia dapat menyelamatkan senyummu, jika hal tersebut dapat membuatmu tidak tersiksa lagi, aku akan merelakanmu!”

Ah, aku mengungkapkan semuanya. Air mataku tak terbendung oleh ketegaran diriku. Harga diriku luluh di depan matanya. Aku hanyalah manusia biasa yang tak mampu melihat penyiksaan semacam ini. Jeritannya, rasa sakitnya, aku tak dapat menolongnya seinci pun. Tidak seperti dokter Rifki yang dapat menyelamatkan Kak Nindi, aku tak dapat melakukan apapun menolongnya kecuali hal ini.

Dia kembali tersenyum dan air mata kembali membasuh wajahnya. Dia berkata dengan terpatah-patah,

“Jika kita bertemu di luar rumah sakit ini, pastilah aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama padamu. Maafkan aku membuat dirimu semakin tersakiti karena pertemuan singkat ini. Hidup singkatku berasa lebih berarti denganmu.”

Aku memeluknya dan dia pun membalas pelukanku. Dia tengah-tengah rasa haru itu dia berkata pelan,

“Maukah kamu memenuhi satu permintaanku?”

“Tentu saja apakah itu?”

“Tutup matamu.”

Aku pun menutup mataku. Dengan air mata yang terus membasahi wajahku, aku terus menutup mataku. Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah sensasi hangat di bibirku. Sebuah ciuman hangat dari bibirnya yang telah mengerut dan kering. Ciuman itu hanya berlangsung sekitar lima detik namun perasaan yang ditancapkannya sangatlah dalam. Ketika aku membuka mataku, terlihat Vela kesulitan memakaikan kembali alat pernapasannya. Aku segera membantunya memasangkan kembali alat pernapasannya.

“Terima kasih, Rendi. Maukah kamu memanggilkan dokter Rifki untukku? Ada sesuatu yang harus kuberitahu padanya.”

Aku mengangguk pelan. Sebelum dapat aku benar-benar meninggalkan ruangannya, aku melihat ke belakang untuk terakhir kalinya. Aku lihat dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku pun melempar wajahku darinya dan aku terus menangis di sepanjang jalan. Setelahnya, aku hanya dapat meratapi semua kesalahanku di ranjangku. Aku tak mampu lagi bertemu dengannya sebelum proses eutanasianya. Aku rasa, ini lah pertemuan terakhirku dengannya. Aku sungguh yang terburuk.

***

“Jadi, kamu telah memutuskannya?”

“Benar. Saya akan melakukannya.”

“Apa kamu tidak ingin berkata ‘tidak’? Apakah ini keinginanmu yang sebenarnya?”

“Keinginanku sebenarnya hanya satu. Aku dapat hidup layaknya anak-anak normal, menjalani masa mudaku, jatuh cinta, memiliki anak, membesarkannya, dan hidup hingga masa tuaku. Namun, semuanya hanyalah angan-angan semata. Setidaknya seseorang telah mencintaiku dan membuatku merasa jatuh hati padanya. Setidaknya ada seseorang yang menangisi kepergianku selain kedua orang tuaku. Aku tidak bisa memberikan beban lagi pada orang-orang tersebut. Dadaku terlalu sempit memikirkan semuanya. Setidaknya, kali ini saya ingin dapat tersenyum untuk selamanya.”

Rifki hanya dapat berlalu dan menerima keputusan Vela. Itulah percakapan terakhir di ruangan tersebut sebelum Vela dibawa keruangan di mana dia akan mengakhiri hidupnya.

***

Ruangan yang terang namun kosong. Sebuah alat telah menunggu dari jauh untuk mengakhiri hidup Vela. Dalam detik-detik terakhirnya dia terus bertanya pada Rifki,

“Bisakah senyum terakhirku ini dapat membuat mereka mengingatku?”

“Tentu saja, senyumanmu tak pernah dilupakan,” jawab Rifki dengan sabar.

“Apakah hidupku berarti bagi mereka?”

“Kamu tak tergantikan,” Rifki terus menjawab pertanyaan yang diajukan Vela.

“Apakah aku telah menyusahkan semua orang?”

“Manusia satu sama lain saling menyusahkan. Itu adalah hal biasa. Jangan khawatir, kita menanggungnya bersama,” Rifki menjawabnya dengan sebuah senyuman kecil yang tergoreskan kesedihan.

“Sungguh beruntung diriku dapat-- ... ”

Kata-kata yang tak selesai dari Vela telah terselesaikan oleh sebuah hembusan napas pelan yang menutup buku perjuangan hidupnya. Kini ia telah kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Melihat mayat yang telah terbujur kaku itulah Rifki bertanya,

“Jadi, inikah takdir yang digariskan-Nya?” tanya hati kecilnya.

***

Pagi menyingsing. Sebuah paparan hangat dari cahaya pagi telah membangunkanku. Aku berharap tidak pernah bangun lagi setelah perbincangan kemarin dengan dirinya. Bagaimana mungkin aku dapat menemuinya sekarang? Ketika perawat Amamiya masuk dan mengatakan datang untuk membasuh tubuhku seperti biasa, aku menolaknya.

“Aku harus bertemu seseorang terlebih dahulu,” jawabku pelan padanya.

“Apa mau ku bantu, Rendi?” tanyanya lembut.

Aku menggeleng. Aku ingin berjalan sendiri ke kamarnya, seperti biasa, dengan kursi rodaku yang berputar pelan dan melewati lorong sepi itu. Detik demi detik yang terus berdetak, aku terus mengayuh roda kursiku dan kini telah berdiri di depan pintu kamarnya. Bayang-bayang percakapan kemarin masih terngiang di kepalaku.

Aku tak bisa terus berdiri di sini. Aku harus menanyakannya hal yang terpenting, yaitu kapan dia akan eutanasia. Mungkin itu adalah salah satu pertanyaan terburuk pernah ku tanya tapi setidaknya membuatku bisa bersiap akan kenyataan yang ada. Juga, setidaknya aku ingin membuatnya tersenyum sebelum waktu terakhirnya. Sebelum aku membuka pintu itu, aku merasakan sebuah tangan di pundakku.

“Terus berada di sini akan menghancurkan seluruh jiwamu dan menghilangkan akalmu. Bukankah aku pernah mengatakannya, Rendi?” suara dokter Rifki mengalun jelas di telingaku.

“Lepaskan aku! Ini mungkin menjadi kesempatan terakhirku.”

“Jika kamu memaksa, ruangan ini milik kalian. Habiskan waktumu sesukamu.”

Dokter Rifki yang memegang pundakku itu telah pergi menjauh dan hanya meninggalkan suara tapak kaki yang masih terdengar samar. Sebelum aku membuka pintu itu, aku berusaha membuat senyumku agar dia dapat bersemangat meski di waktu terakhirnya. Aku membuka pintu itu kuat dan memanggil namanya,

“Vela!”

Aku pun langsung terdiam dan kaku. Di ranjang pendek itu telah terbaring seseorang yang ditutupi selimut putih. Tak ada alat medis apapun di ruangan itu. Hanya sebuah ranjang sederhana dan cukup pendek bersama seseorang itu. Aku mendekatinya perlahan. Tidak, aku tidak ingin dugaanku benar. TIdak, dia hanya bermain-main denganku, bukankah begitu? Hei seseorang yang tertidur di sana, katakan sesuatu …

Kini aku telah berada di samping ranjang itu layaknya kemarin. Air mataku hampir tak tertahankan. Dengan perasaan tak menentu ku buka selimut putih yang menutupi orang tersebut. Terbaringlah di sana Vela yang telah terbujur kaku dengan senyum khasnya. Napasku kini tak teratur. Dadaku serasa dicabik dan aku benar-benar kehilangan akal. Di sanalah kutumpahkan semua perasaanku. Marah, sedih, sakit hati, semuanya. Sebuah teriakan terdengar dari mulutku dan memenuhi ruangan itu bahkan lorong sepi itu.

KENAPA? KENAPA KAMU TAK MENGATAKAN APAPUN BAHWA KAMU AKAN MELAKUKANNYA? TIDAKKAH KAMU BERIKAN AKU SECUIL KESEMPATAN UNTUK MENDENGAR SUARAMU KEMBALI?

Dadaku semakin sakit. Semakin aku memikirkannya, semakin diriku sakit. Air mata tak lagi terbendung. Entah bagaimana wajahku saat itu, tapi mungkin itu adalah wajah yang sama ketika aku mengetahui bahwa Ibuku telah tiada. Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Kamu harus aku? Salah apakah diriku?

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Gelap, selayaknya hatiku kini. Dingin, ketika mereka yang membuat hidupmu hangat telah pergi. Dipenuhi air mata, mereka yang kucintai kini telah tiada.

Aku merasakan seseorang memelukku. Aku juga mendengar isak tangis darinya. Ah, aku mengenal suaranya, itu adalah suara khas milik Kak Nindi. Jadi, dia di sini untuk Vela juga. Ketika aku membuka mataku dari telapak tangan yang menghalangi pandanganku, aku melihat beberapa orang telah berkumpul di sana. Mereka terlihat mengenakan pakaian penghuni rumah sakit. Seorang nenek tua berkata,

“Kasihan sekali Nak Vela. Padahal dia begitu muda tapi kenapa Tuhan memanggilnya sangat dini?” mata nenek tua itu telah berkaca-kaca ketika mengatakannya.

Seorang anak kecil berkata kepada Ibunya,

“Ma, kenapa Kakak Vela? Bukannya dia harusnya menggambar bersamaku? Ma? Ma?” pertanyaan anak itu tak dapat dijawab oleh Ibunya yang terlihat telah bercucuran air mata.

Masih banyak lagi orang yang terlihat datang menangisi kepergianmu, Vela. Inilah bukti hidupmu, bukti bahwa senyummu telah membuat berbagai perubahan. Mereka kini datang bukan untuk melupakanmu melainkan datang agar mereka terus ingat, ada seorang gadis muda yang sangat bersemangat, menebar senyum dan sangat ceria di rumah sakit ini. Dan kini gadis itu telah tiada.

Air mataku tak mampu berhenti. Aku menyesal, tak mampu melakukan apapun untuknya. Waktu pertemuan kami terlalu singkat. Kini dirimu telah meninggalkanku, di panggung sandiwara yang mereka sebut dengan kehidupan. Aku kini hanya mampu menangisi kepergianmu.

Selamat jalan, Vela.

***

Hari-hari setelah pemakamannya semakin sulit untukku. Ketegaran itu tak pernah mampu singgah dalam hidupku. Aku hanya larut dalam kesedihan dan meratapi kematianmu. Setiap kali aku teringat padamu, aku pasti menangis tak karuan. Ketika orang-orang di sekitar bertanya mengenai seorang gadis ceria yang tiba-tiba menghilang, di sanalah diriku merasa kesedihan yang mendalam. Kepergianmu menyisakan sebuah titik hitam di hatiku. Aku terus berkutat akan titik hitam itu. Hingga titik hitam itu dapat mengusai tubuh dan pikiranku.

Aku telah kehilangan akal. Di hari itu, seminggu setelah kepergianmu, aku mengambil pisau yang terletak di meja kamarku yang biasa digunakan untuk membuka buah. Aku pun bergegas menuju atap yang dulu menjadi tempat pertemuan pertama kami. Aku sengaja memilih tempat ini karena aku ingin mengakhirinya di tempat di mana semuanya bermula.

Di tengah atap rumah sakit ini, ditemani alunan pelan angin yang membelai, aku mengangkat tinggi pisau itu. Aku menutup mataku dan bersiap mengakhiri kisah hidupku di sini. Aku tak tahan lagi. Aku tak kuasa lagi. Aku hanya dapat bergumam diiringi air mata yang mengalir pelan,

“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku, Vela.”

Ketika aku akan menggerakkan tanganku, seseorang memegang kuat tanganku. Aku segera membuka mataku. Terlihat tangan lain orang tersebut mengambil pisauku secara paksa. Ketika aku ingin berbalik, mataku tiba-tiba ditutup.

“Kamu harus menutup pandanganmu dari masa lalu yang telah berlalu. Sulit tapi inilah jalan untuk terus maju. Masa lalu akan menjadi masa lalu dan tak dapat dijemput kembali. Vela hidup dalam semangat untuk terus memperjuangankan hidupnya hingga napas terakhirnya.”

Tentu saja, aku mengenal kata-kata dan suara itu. Dia pastilah Kak Nindi. Namun, aku meronta,

“DIA PADA AKHIRNYA MENYERAH! KENAPA AKU JUGA TIDAK BOLEH MENYERAH SEPERTI DIRINYA?”

Tiba-tiba saja suara yang lain menghardikku.

“JANGAN BERCANDA! Dia … gadis itu tidak pernah menyerah. Bahkan hingga napas terakhirnya dia tetap berusaha untuk membuat orang lain tersenyum dan memikirkan apakah hidupnya selama ini telah dijalaninya dengan baik.”

“Janga bercanda denganku, dokter Rifki! Apanya yang tak menyerah kalau dia mati karena eutanasia!”

“Kamu salah, dia tidak meninggal karena eutanasia.”

Jawaban dokter Rifki membuatku terkejut tak percaya.

“Dia meninggal tepat sebelum aku menekan tombol di mesin eutanasia. Tuhan memanggilnya terlebih dahulu sebelum dia dapat menyerah. Dia meninggal dalam ketegarannya, dalam kesabarannya, dalam penderitaan yang terus ditanggungnya. Dia tak pernah menyerah hingga akhir hayatnya. Sekarang, semua kembali padamu. Apakah kamu pikir apa yang kamu rasakan ini telah sepadan dengan penderitaannya selama dua belas tahun? Jika kamu memang mencintainya, teruslah hidup dan buat dia hidup di dalam hatimu. Kamu tidak akan pernah menyesali hidupmu jika kamu mampu menanggung beban itu.”

“Jangan khawatir, kamu tak pernah sendirian. Banyak orang-orang yang dapat kamu mintai tolong disaat kamu sulit. Kamu juga melihatkan, betapa banyaknya orang-orang yang merasa kehilangan Vela? Itulah bukti hidup kita sebagai manusia. Jangan sia-siakan seperti ini. Jika kamu butuh bantuan kami, kami akan selalu ada untuk membantu.”

Mereka kemudian meninggalkanku di atap bersama nasihat dan kenyataan akan hidup Vela. Aku tak mampu berhenti mengagumi ketegaranmu, Vela. Aku sangat bersyukur, senyummu tak ternodai oleh rasa putus asamu. Atap ini pun menjadi saksi bisu lembaran hidupku yang baru dan melangkah dengan pelan dalam drama yang mengalun cepat ini.

***

“Dokter, tolong berikan aku alat bantu berjalan. Aku harus menjemput impianku.”

Itulah salah satu langkah awalku dalam memulai hidupku yang baru. Dengan perjuangan dan jatuh bangun berulang kali, aku kini dapat menyandang gelar sarjana teknik mesin. Di depan nisanmu ini, Vela, aku ini mengatakan impian kecil yang ingin ku wujudkan. Aku ingin menciptakan mesin yang dapat menghilangkan rasa sakit bahkan menolong orang-orang yang membutuhkan. Mungkin perjalananku masih jauh dari akhirnya tapi aku tidak akan menyerah. Senyumanmu telah mengubah hidupku dan karena itulah aku akan terus tersenyum bahkan di masa sulitku. Terima kasih telah datang dalam hidupku, Vela. Aku mencintaimu dan terima kasih atas segalanya.

Sebuah langkah ku ambil. Meski hanyalah sebuah langkah pelan, ini adalah langkah pelan yang membuatku semakin dekat dengan impianku. Sebuah langkah yang membuat hati kita semakin dekat. Sebuah langkah pelan dalam drama yang mengalun cepat yang disebut kehidupan.

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku OS TAMAT

Catatan Kaki
[1] Eutanasia
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar