Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter [EXTRA Chapter]

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Extra Chapter : Langkah Pelan Meninggalkan Drama Kita

“Sepertinya aku belum siap, Papa.”

Nindi telah mengutarakan pikirannya pada sang ayah. Dengan senyum ayahnya menanggapi santai jawaban anaknya tersebut.

“Kalau begitu tidak apa-apa. Kamu tidak harus melakukannya.”

Kedua orang tua dan anak itu hanya saling tersenyum dan mengerti satu sama lain.

“Jangan lupa beritahukan pada Rifki soal ini agar dia tidak terus-terusan khawatir.”

“Baiklah, Papa.”

***

Rifki bangun dengan rasa keputusasaan yang menyelimutinya. Kini dia bingung, harus memilih yang mana. Apakah membiarkan Nindi sendiri untuk sementara ataukah harus menemuinya. Dalam kebimbangan itulah dia berdiri di depan pintu kamar Nindi. Mengumpulkan keberanian dan meluruskan niatnya, Rifki pun membuka pintu kamar Nindi.  Namun, alangkah terkejutnya Rifki ketika menemukan Nindi masih tertidur pulas.

Rifki pun duduk di sebelah Nindi dan sedikit termenung menunggu Nindi bangun yang merupakan rutinitas yang biasa ia jalani dahulu bahkan sebelum bertemu Nindi. Tiba-tiba saja kepala Rifki ditarik Nindi yang ternyata hanya pura-pura tidur dan mulai mengacak-acak rambut Rifki.

“Hahaha, aku tidak menyangka kamu bisa ditipu!” teriak Nindi senang.

“Hentikan, Nindi!”

Nindi kemudian terdiam sebentar. Rifki yang keheranan tentu langsung bertanya dalam rasa kekhawatirannya,

“Ada apa, Nindi?” tanyanya penuh perhatian.

“Tidak, aku hanya merasa jenuh di sini. Maukah kamu membawaku jalan-jalan keluar?”

Rifki hanya tersenyum dan segera mengambil kursi roda milik Nindi. Seperti biasa juga, Rifki mulai mendorong kursi roda yang lelah akan beban yang harus dipikulnya. Di dorongnya perlahan melewati lorong suram menembus keheningan hingga sampai di taman hijau penuh aura kehidupan. Mata Nindi berbinar, seolah terasuki aura kehidupan dari taman tersebut. Dia tak menyangka, bahwa hidupnya bisa seindah ini. Inilah yang dimaksud dengan “Hidup adalah keajaiban itu sendiri”.

Melewati jalan setapak dan mendengarkan suara burung berkicau membuat Nindi senang, entah kenapa. Bersama sedikit belaian angin pagi yang menyejukkan, dirinya terus menikmati pagi ini, sebuah pagi yang berbeda dari hidupnya.

“Sepertinya kamu senang sekali hari ini, Nindi,” ungkap Rifki jujur.

“Entahlah, aku hanya merasa ...hidup.”

“Hidup?”

“Benar. Seolah warna yang telah memudar kini telah bersinar kembali. Dunia kini kembali luas untukku.”

Rifki hanya tersenyum mendengar kata-kata optimis dari Nindi.

“Rifki, bisakah kamu membawaku ke tepi aliran sungai kecil yang ada di taman ini? Aku ingin melihatnya.”

“Tentu saja.”

Rifki pun mulai mendorong kursi roda Nindi menuju tepi sungai kecil yang melewati taman itu. Airnya sangatlah jernih, cukup jernih hingga kamu dapat bercermin padanya. Ketika sampai, Rifki pun bertanya,

“Apakah kamu mau melihatnya dari tepi ini ataukah jembatan di sebelah sana?”

“Di sini sudah cukup, kok.”

“Baiklah kalau begitu.”

Nindi pun mulai menatap ke arah sungai kecil tersebut. Dirinya berusaha mengumpulkan keberanian sambil membuat hatinya luluh bersama aliran air tenang namun mantap.

“Apa ada sesuatu yang mengganggumu, Nindi? Kamu terlihat resah,” tanya Rifki pelan.

“Sebenarnya, ada yang ingin kukatakan padamu.”

“Apa itu?”

“Aku memutuskan untuk tidak operasi.”

Rifki termenung untuk sesaat, tidak percaya terhadap apa yang didengarnya. Namun, dia pun sadar hal tersebut bukannya tidak mungkin.

“Benarkah?” tanya Rifki antusias.

Nindi hanya mengangguk sambil tersenyum. Rifki hanya dapat tersenyum sambil menyembunyikan kebahagiannya. Dalam rasa kebahagiaan Rifki, Nindi berkata,

“Meski aku tidak menjemput keajaiban, hidup itu sendiri adalah keajaiban. Dapat merasakan senang, tawa, dan kebahagiaan, dapat merasakan kesedihan dan duka, Aku benar-benar bersyukur karena dilahirkan ke dunia ini.”

Rifki hanya dapat tersenyum. Dia merasa kini Nindi semakin dewasa dan memiliki visi untuk terus maju. Ia bahagia karena hal yang dikhawatirkannya kini mulai sirna. Kini, roda hati yang macet itu mulai bergerak kembali.

“Rifki, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya lembut Nindi.

“Tentu,” jawab Rifki santai.

“Entah kenapa, ketika aku melihat seseorang, hatiku berdegup begitu kencang dan perasaanku tidak karuan. Pandanganku seolah tidak bisa lepas darinya. Pikiranku dipenuhi oleh senyumnya. Kata-katanya membuatku senang. Tahukah kamu perasaan apa ini?”

Rifki terkejut mendengar kata-kata Nindi kemudian tersenyum. Dia tidak menyangka ada seseorang yang dapat bertanya hal seperti itu padanya.

“Itulah yang dikatakan oleh orang-orang sebagai ‘cinta’, Nindi. Kalau aku boleh tahu, siapakah orang beruntung ini?”

Betapa terkejutnya Rifki ketika telunjuk Nindi mengarah padanya. Beberapa sesaat kemudian, terlihat sebuah senyum terindah dari Nindi yang belum pernah dilihat oleh Rifki sekalipun.

“Kalau begitu, mungkin aku telah mencintai orang yang kutunjuk ini,” Nindi berkata dengan mantap.

“Begitukah? Sungguh beruntung diriku, dapat dicintai dan bukannya dibenci. Aku merasa bahagia mendengarnya.”

Nindi terlihat menundukkan wajahnya. Nindi pun berkata,

“Aku sudah mengungkapkan perasaanku. Aku ingin tahu, apakah kamu ingin menghabiskan hidupmu denganku, seorang gadis yang telah kehilangan warna kehidupannya?”

Rifki menyentuh pelan wajah Nindi dan mengangkatnya hingga wajah mereka sejajar.

“Kenapa kamu begitu takut? Kenapa kamu harus melihat ke bawah? Aku tidak melihatmu dari kekuranganmu maupun kelebihanmu. Aku melihatmu sebagai ‘Nindi’ secara utuh. Apapun kelebihan dan kekuranganmu, itulah dirimu. Jangan khawatir, aku menyukaimu sebagaimana dirimu sekarang. Aku akan selalu di sisimu bagaimanapun kamu.”

Nindi tidak dapat berkata-kata. Rifki pun melanjutkan kata-katanya,

“Jika kamu belum bisa mendengarnya, biar aku sampaikan langsung ke hatimu!”

Rifki bersiap-siap dan mulai menarik napas kemudian berteriak,

“AKU MENCINTAIMU!”

Nindi seakan tidak percaya. Orang yang begitu dicintainya kini meneriakkan kata-kata tersebut padanya. Air mata pun mengalir di wajahnya. Dia berusaha menahan semua rasa bahagianya namun dia tak mampu. Rifki pun segera memeluknya. Sebuah kebahagian terpancar dari wajah kedua insan tersebut. Sebuah kebahagiaan ketika dua hati dapat bersatu.

***

Aku terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanyalah mimpi. Aku pun segera menghadap ke samping dan melihat Nindi tertidur pulas di sampingku. Aku hanya tersenyum dan mengelus kepalanya pelan. Benar, itu semua adalah pengalamanku di masa lalu sebelum kami menikah.

Tiba-tiba saja Nindi terbangun dan berkata,

“Ada apa, Rifki?”

“Tidak, aku hanya mengingat waktu kita dulu.”

“Kamu memang suka sekali mengingat masa lalu. Kenapa harus terus mengingat masa lalu jika aku berdiri di depanmu saat ini?”

Aku hanya tersenyum dan memberinya ciuman. Dia memang suka sekali menghiburku. Mungkin hidupku hanyalah sebuah siluet tanpa dirinya di sisiku. Aku memang orang yang sangat beruntung.

***

Aku pun terkejut ketika aku berdiri di sini, 45 tahun setelah pertemuan pertama kita. Aku kini berdiri di depan makammu, Nindi. Aku sangat sedih ketika tahu bahwa kamu tidak lagi berada di sisiku. Entah bagaimana aku tanpa dirimu. Kamu telah menjadi sebuah bagian yang tak terpisahkan dariku tapi kini kau telah tiada. Bahkan setelah satu tahun kematianmu, aku tidak dapat melupakan tawamu yang khas itu, senyummu yang merona itu, aku tak bisa melupakannya.

Takdir memang tiada ampun dan waktu memang kejam. Dalam kesendirian inilah aku harus menghabiskan sisa waktuku dengan tubuh renta ini. Namun, aku tak sedikitpun menyesal. Aku tak pernah sedikitpun menyesal dapat menjadi suamimu dan ayah dari anak-anakmu, bukan, anak-anak kita. Aku tak pernah menyesal dapat menghabiskan waktu untuk selalu berada di sampingmu, untuk selalu tersenyum bersama dan melalui duka bersama. Di waktu sulit, di waktu senang, kamu selalu ada untuk tersenyum padaku dan menghiburku. Engkau laksana api di kala dingin nan gelap, menghangatkan dan menerangi.

Jika saja aku dapat melihat senyummu lebih lama lagi. Jika saja aku dapat membahagiakanmu lebih jauh lagi. Jika saja kamu tidak pergi meninggalkanku. Ah, mungkin aku berharap terlalu banyak. Tuhan telah mengabulkan doaku. Menjadikan orang terbaik sebagai pasanganku. Aku tidak boleh menyesal. Kamu tahu Nindi, aku hanya sedih. Tubuh tua ini hanya mengharapkan kasih sayang akan tetapi kamu telah mendahuluiku. Mendahuluiku menuju kebahagiaan abadi yang tiada tara. Kamu telah selangkah pelan di depanku.

“Ayah, ayo kita pulang.”

“Sebentar, Lara! Ayah akan segera ke sana.”

Aku melihat ke arah sumber suara tersebut. Dia adalah Lara, anak bungsu kami.  Bagaimana Nindi? Apa kamu dapat tersenyum di sana? Benar juga, aku lupa mengatakannya. Lara sebentar lagi akan menikah dan pergi meningggalkanku. Benar, semuanya akan kembali seperti awal. Kembali ke waktu dimana anak-anak tidak ada di rumah. Lalu kembali ke waktu dimana tidak ada dirimu di rumah itu. Aku pun kembali sendirian. Namun, aku kini dapat tersenyum dengan wajah yang dibasahi oleh air mata kesedihan ini. Bahwa, kita telah mampu melangkah bersama. Melangkah meninggalkan drama kita, menuju kebahagiaan yang kekal lagi abadi di sana.

Inilah perpisahan kita, Nindi. Semoga kamu dapat terus tersenyum di sana. Terima kasih telah datang dalam hidupku yang sungguh kelam ini dan membuatnya berwarna. Aku sungguh beruntung dapat bertemu denganmu.

Extra Chapter : Langkah Pelan Meninggalkan Drama KitaSelesai

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter [EXTRA Chapter] Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar