Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 2

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 2 : Duka di Balik Hujan

Sang Putri hanyut dalam kebahagiaan dalam sangkar namun Pangeran hanya menganggapnya sederhana; Sang Putri sedang bermain sandiwara yang biasa dilihatnya. Pangeran tiada tahu bahwa sangkar itu sebenarnya telah mengurungnya dan mengaburkan kebenaran maupun ilusi yang ada. Perlu sekuat apakah kebenaran perlu dihembuskan pada Pangeran hingga ia sadar akan kebenarannya?

Aku terbangun. Cahaya kuat menusuk mataku dan menyilaukan pandanganku.  Dengan cepat aku menghindari cahaya itu dan melihat ke sekitarku. Dimanakah aku kini?

“Syukurlah, akhirnya kamu bangun juga.”

Suara lembut itu kukenali dengan cepat.

“Apa yang terjadi, Nindi?”

“Apa kamu tidak ingat kalau kamu pingsan di taman?”

“Benarkah?”

Nindi mengangguk tanda mengiyakan pertanyaanku. Aku berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi namun tiada yang teringat. Terlihat Nindi menyodorkan padaku segelas teh hangat. Benar-benar perpaduan yang pas ketika rasa teh yang hangat menyentuh kerongkonganku di hari yang dingin ini. Awalnya aku berpikir bahwa sekarang sudah malam sehingga dingin sudah hal yang wajar. Namun, ketika aku memperhatikan jam dinding, ternyata sekarang baru pukul setengah enam sore.

"Dingin sekali ya?" tanyaku mencairkan suasana.

"Soalnya badai di luar, " jawabnya santai.

Aku pun bangkit dan berjalan ke arah jendela besar yang ada di kamar itu.

"Aku akan membuat makan malam dulu," Nindi berkata sambil berjalan ke arah luar kamar.

"Baiklah..."

Jawabku sambil melihat ke arah jendela yang dihiasi oleh rintik rindu hujan. Terasa lembut dan dingin, aku hanya menatapnya dengan sedih. Meskipun rintik hujan tiada sama dengan tetesan air mata tapi perasaan yang kurasakan sama,

“Dingin, gelap, dan membasahi. Mendinginkan hatiku, menggelapkan pandanganku, dan membasahi jiwaku. Selayaknya air mata yang kutumpahkan di hari ketika kamu tak lagi di sisiku, selayaknya hujan yang membasahi makammu. Kenapa kamu begitu dini meninggalkanku?”

“Adikmu pasti sedih mendengarnya.”

Ketika aku melihat ke belakang, ternyata dia telah berdiri memandangku dengan sedih.

“Maafkan aku… aku tidak bermaksud menguping. Aku hanya mengambil ikat rambutku,” ucapnya jujur.

Aku hanya memalingkan wajahku darinya dan melihat ke arah hujan dengan tatapan yang dalam. Aku hanya malu dia melihatku menangis. Aku takut dia memandang rendahku atau mengkasihani diriku. Karena diriku hanyalah makhluk hina yang tak patut dikasihani.

“Jangan terus melihat ke arah hujan itu, Rifki. Kamu sama saja menaburkan garam di atas luka.”

“Terima kasih tapi maukah kamu meninggalkanku sendiri?”

Nindi langsung keluar dan menutup pintu tanpa menjawab pertanyaanku. Benar, ini memang menabur garam di atas luka tapi inilah caraku terus mengenangnya. Bahwa aku memiliki seorang adik yang merupakan sahabat terbaik dalam hidupku. Dia ialah perempuan yang kuanggap paling penting setelah ibuku.

***

“Kakak akhirnya datang,” katanya dengan senyum manisnya.

“Maaf, aku terlambat karena piket dulu,” jawabku penuh kekhawatiran.

Benar, itulah kekhawatiranku. Adik kecil dan kembaranku, Rena menderita leukemia atau kanker darah yang membuatnya harus beristirahat cukup lama di rumah sakit. Kemoterapi[1] yang dijalankannya telah menghabiskan rambutnya dan membuatnya menderita. Kami kembar namun kenapa hanya dia saja yang terkena? Kenapa aku tidak bisa menolongnya saat ini? Apa aku memang tidak bisa melakukan apapun?

“Aku akan jadi dokter.”

Sebuah ucapan tegas yang pernah kusampaikan pada adikku. Sebenarnya menjadi seorang dokter adalah cita-cita Rena. Sedangkan aku yang tidak terlalu menyukai pelajaran biologi memikirkan untuk menjadi arsitek karena kemampuan menggambarku atau menjadi penulis karena hobi menulisku.

“Tapi kenapa, Kakak?”

“Aku ingin menyembuhkan kamu dan orang-orang sepertimu.”

Dia hanya tersenyum.

“Kamu akan terlambat, Kakak.”

Mendengarnya aku langsung sedih. Dipikiranku hanyalah waktu miliknya yang terus digerogoti. Namun, Rena langsung menyambung,

“Kakak akan terlambat karena aku akan sembuh duluan!” ucapnya riang.

Disaat itu mataku telah berkaca-kaca, menahan aliran emosi dan air mata. Sebuah senyum penuh semangat untuk sembuh dari seseorang yang lehernya telah dicengkram malaikat maut. Mengapakah semuanya menjadi seperti ini?

“Jika aku tidak bisa, Kakak pasti bisa karena kamu adalah kakakku yang luar biasa!”

Sebuah kata-kata pesimis untuk menyemangatiku. Bukankah itu tak adil? Bagaimana mungkin kamu menyemangatiku dengan kata-kata yang membuatku semakin depresi? Aku pun tidak mampu menahan air mataku. Aku memeluknya kuat. Aku benar-benar yang terburuk. Menangis di depan orang yang kutangisi, aku tidak memberikannya kesan positif. Aku membuatnya semakin buruk.

Aku tidak layak disebut Kakak ketika dia justru mengelus kepalaku pelan dan berkata,

“Kenapa kamu cengeng sekali…”

Dia hanya menatapku dengan tatapan sabar layaknya tatapan seorang ibu yang mendengarkan keluh kesah anaknya.

“Aku tidak akan kemana-mana, Kakak.”

“Benar, seperti kata-katamu sebelumnya, Aku baik-baik saja.”

Dia hanya tersenyum mendengar sindiranku. Dia tahu betul bahwa aku menyindirnya sebagai pembohonh. Bagaimana mungkin dia dapat berkata baik-baik saja sedang ia mengidap kanker darah stadium 3? Lalu bagaimana mungkin aku dapat tersenyum melihat stadiummu yang kini telah naik? Apa kamu pikir aku senang melihatmu terbaring di tempat tidur dengan keadaan lemas seperti itu?

APA KAMU PIKIR AKU SENANG MENJADI SI TUNGGAL?

***

Dikala itu, aku mendatangimu penuh dengan rasa khawatir yang sama. Kamu terus menyambutku dengan senyum dan tatapan tak pernah kalah setiap hari.  Aku kini terdiam dan terus terdiam melihatmu memegang sebuah album tua yang berisi kenangan kita bersama. Apa ini? Kenapa kamu malah membuka album tua itu? Jangan katakan kamu hanya ingin. Kamu seharusnya tidak ingin melihatnya. Jangan katakan kamu hanya tidak ingat, kamu pasti mengingatnya. Jangan katakan kamu ingin melihatnya untuk terakhir kali karena kamu bisa melihatnya kapan saja!

“Kakak, lihat! Album lama kita!”

Aku hanya tersenyum sambil mendekatinya dan duduk di dekatnya. Dia mulai membuka lembaran pertama, sebuah lembar yang menceritakan kelahiran kami, ketika Ayah dan Ibu menggendong kami yang dilahirkan kembar. Sebuah foto yang berbagai seribu suka cita. Foto di halaman pertama itu tak jauh dari kata “kelahiran dan suka cita”.

Membalik lembar pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kami menemukan foto-foto ketika kamu masih berumur 1-12 bulan. Kami hanya tersenyum melihat berbagai tingkah aneh yang terekam oleh foto tersebut. Sesekali kami tertawa ketika kami tidak tahu yang mana aku yang mana adikku.

Halaman berikutnya menunjukkan bagaimana kami mulai tumbuh dewasa sedikit demi sedikit. Halaman 4 berisi bagaimana perkembangan ku dari umur 2 tahun hingga 7 tahun dan begitu pula di halaman 5 yang berisi perkembangan adikku dari umur 2 tahun hingga 7 tahun. Pikiranku saat itu ialah si kembar yang telah berpisah jalan.

Halaman berikutnya menampilkan foto secara acak. Banyak sekali foto-foto di halaman berikutnya yang menceritakannya betapa manisnya kehidupan kami, tanpa kesulitan berarti. Sebuah keluarga harmonis dengan berbagai warna kehidupan. Namun, warna apakah kini yang menghiasi kanvas kehidupanku? Hitam?

“Lihat ini! Ada es krim di mulutmu waktu itu, Kakak!”

“Benar juga… tunggu dulu! Kamu apa bedanya?!”

“Hahahaha,” kami tertawa lepas bersama. Tiba-tiba saja hujan turun yang disertai guruh. Ketika Rena melihat ke arah jendelanya, dia berkata,

“Ini seperti hujan waktu itu. Ketika kita berusaha menembus badai dan berakhir dengan penuh lumpur karena terpeleset.”

“Itu semua kan idemu!” tukasku.

“Ya siapa juga yang suruh ikut!”

“Kamu ini ya!”

Aku segera menjitak pelan kepalanya. Aku merasa bahagia kami dapat tersenyum bahagia seperti ini. Namun, itu lah saat aku bertanya kepada lubuk hatiku yang paling dalam,

AKANKAH INI BERTAHAN ‘TUK SELAMANYA?

“Ah… sepertinya sudah cukup kita lihat-lihat album ini. Mana naskah dramamu, Kakak? Apa sudah selesai? Aku ingin lihat!”

“Ini.”

Aku memberikan naskah dramaku yang akan dipertandingkan di tingkat provinsi. Benar, adikku adalah orang pertama yang melihat naskah dramaku dibandingkan juri. Bahkan guruku pun tidak akan kuperlihatkan sebelum adikku melihatnya. Kini dia mulai membuka lembar demi lembar naskah itu. Dia mulai membaca satu per satu kata yang kutorehkan pada naskah drama itu. Sebuah drama yang kuberi judul “Jalanku”. Ketika selesai membacanya, matanya terlihat berkaca-kaca. Dengan cepat dia mengenmbalikan naskah itu padaku dan berkomentar,

“Lain kali Kakak harus membuatkanku cerita yang lebih menyenangkan. Jangan mengharukan seperti ini.”

“Mungkin lain kali ya, Rena.”

“Juga….”

Aku langsung mendengarkan kata-katanya yang terputus itu.

“Kakak harus lolos ke seleksi tingkat nasional dan memenangkannya!”

Aku hanya tersenyum.

“Jangan berharap yang aneh-aneh.”

Kami pun terus berbicara hingga sore pun menjelang. Aku pun pergi setelah Ayahku datang pulang dari kantornya.

***

“Ada yang ingin Ibu bicarakan denganmu, Rifki.”

“Apa itu, Ibu?”

“Ini soal Rena.”

“K-kenapa dengannya?”

“Dia… menolak untuk dioperasi.”

“Ah? Kenapa begitu, Ibu?”

“Dia mengatakan bahwa mustahil untuknya untuk selamat dari operasi itu. Kemungkinannya 30% berhasil. Namun, dokter mengatakan masih ada harapan untuknya. Bisakah kamu membujuk Rena?”

“Baiklah, Bu.”

***

Keesokkannya aku datang ke ruangan Rena. Terlihat dia sedang duduk manis dengan berbagai infus yang berisi segala macam bahan kimia untuk kemoterapinya.

“Akhirnya kamu datang, Kakak.”

Ketika dia mengatakan itu, ingin sekali aku rasanya bertanya kenapa dia tidak ingin menjalankan operasi. Namun aku mengurungkannya.

“Bagaimana keadaanmu, Rena?”

“Semakin membaik.”

Sebuah kata bohong yang kudengar dari orang yang ditempeli bau obat yang kuat. Aku mengelus pelan rambutnya yang kini botak.

“Ada apa, Kakak?”

“Sayang sekali kamu harus kehilangan rambutmu. Padahal rambutmu sangatlah indah.”

“Jangan khawatir! Setelah sembuh, aku bisa menumbuhkannya dengan cepat. Atau… aku bisa pakai wig untuk sementara.”

Aku pun tertawa pelan. Gerimis mulai turun, menghilangkan rasa gerah yang ada di ruangannya. Dia melihat ke arah gerimis yang turun perlahan membasahi bumi. Dia terlihat begitu menikmatinya.

“K-k…”

“Ada apa, Kakak?”

“K… Kenapa kamu tidak menyetujui untuk operasi itu? Kamu masih bisa selamat!!”

Dia mengalihkan pandangannya padaku dan menjawab,

“Kemungkinannya terlalu kecil. Lagipula, bagaimanapun juga, jika aku ditakdirkan belum mati saat itu, aku tidak akan mati.”

“JANGAN BERCANDA!”

Teriakku dengan nada tinggi.

“ITU SAMA SAJA TIDAK INGIN BERUSAHA! MESKIPUN KAMU TIDAK MATI TAPI kAMU AKAN MENDERITA. AKU HANYA INGIN KAMU BAHAGIA! AKU TIDAK INGIN KAMU MATI!”

“Dan aku tidak ingin membuat Kakak menderita yang kemudian berakhir sia-sia ketika menjadi donor sumsum tulang belakang untukku.”

“Itu semua tidak sia-sia!”

“Aku ini sudah stadium terakhir, Kakak. Kemungkinan hidupku kecil. Meskipun operasi dan segala macamnya berhasil, belum tentu akan menyembuhkan kanker darahku. Umurku tidak akan lama, Kakak.”

Dia mengatakan semua itu diikuti senyum khasnya.

“KAMU TIDAK MENGERTI APA YANG KU MAKSUD! MATI SAJALAH KALAU BEGITU! AKU TIDAK PEDULI!”

Aku berlari kencang meninggalkan kamarnya, tanpa ampun menuju suatu tempat yang bahkan tidak kuketahui.

***

Aku kini duduk di tepi jalan ketika purnama yang tak nampak tertutup awan menyingsing. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit tapi yang pasti aku bisa menjauh darinya untuk sementara. Aku benar-benar sudah salah. Aku seharusnya tidak mengatakan hal tersebut padanya. Aku benar-benar kakak yang hina. Tiba-tiba saja handphone ku bergetar. Ketika aku melihatnya, ada sebuah pesang singkat masuk dari Ibuku. Ketika aku membaca isinya, aku segera berlari kembali ke rumah sakit.

Kamu dimana, Rifki? Rena sekarang kritis. Cepat ke rumah sakit!

***

Aku memang segera sampai di rumah sakit. Namun, aku tidak punya keberanian untuk masuk ke dalam. Aku takut, aku menerima kata-kata yang menyakitkan dari adikku. Aku takut melihat wajahnya yang penuh kemarahan. Aku takut, aku menjadi yang terburuk. Selain itu, keberanianku semakin luntur mendengar suara yang nyaring dari elektrokardiograf.

Aku kemudian berjalan ke arah ruang tunggu dan duduk. Merasa bosan, aku pun berkeliling di sekitar ruang tunggu yang kebetulan di sana ada perawat yang sedang berbincang.

“Kamu tahu anak di ruangan nomor 139 itu?”

“Oh, anak leukemia itu ya?

“Aku melihatnya berjalan ke sini sambil membawa infusnya. Sudah jelas keadaannya di ujung tanduk masih saja berniat nekat. Entah apa yang dikejarnya.”

“Hush, jangan berkata seperti itu.”

“Tapi benarkan? Dokter bilang anak itu sudah tidak bisa… ya tahulah. Karena dia menolak dioperasi besar kemungkinan tidak ada lagi harapan untuknya.”

“Kita berdoa saja dia diberikan keajaiban.”

Mendengar percakapan itu aku hanya dapat terdiam dan kembali duduk. Kini aku benar-benar merasa bersalah. Ketika aku sedang menunggu, tiba-tiba saja Ayahku sudah berada di sampingku.

“Masuklah, kamu akan kedinginan di sini. Ayo, kita temani Rena.”

“Ah… itu… Ayah dan Ibu belum makan bukan? Biarkan aku belikan makanan.”

Aku pun lari meninggalkan Ayahku yang masih terpaku dengan kelakuanku. Benar, aku lari dari sana. Lari dari tanggung jawabku, lari dari kenyataanku. Aku hanya…. takut. Mungkin inilah alasan kenapa aku membenci rumah sakit.

Memang aku membeli makannya tidak jauh. Namun, aku masih mengumpulkan keberanian. Bersama tiga bungkus nasi goreng aku berjalan kembali melewati lorong-lorong yang mencekam. Aku begitu takut melihat sebuah area dimana lampunya hidup-mati.  Ketika aku akan bersiap-siap untuk lari melewati area menakutkan itu, aku melihat sebuah bayangan. Aku mengenalnya dengan jelas, Rena namun dengan tatapan yang menakutkan. Kini aku tidak lagi bersiap. Aku langsung tancap gas dan berlari ke ruang tunggu tadi. Ketika aku terus berlari sambil menutup mata, aku menabrak sesuatu. Ketika aku membuka mataku, aku melihat Ayahku berdiri di sana. Dipegangnya kedua pundakku dengan mantab sambil berkata,

“Sekarang Rena sudah tidak ada.”

Ingin sekali aku bertanya tapi lidahku kaku. Aku seolah tak mampu berbicara. Aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Aliran kesedihan terus membanjiriku. Aku langsung menangis keras. Ayah memelukku dan juga menangis sedih. Setelah aku sedikit tenang, dia menuntunku ke ruangan Rena dimana aku melihat Ibuku yang matanya telah bengkak karena menangis tengah merapikan barang-barang milik Rena serta sang mayat yang telah terbujur kaku dan telah ditutupi sebuah kain. Aku berjalan ke arahnya dan membuka kain yang menutupi wajahnya. Kini dapat kulihat wajahnya yang penuh penderitaan. Aku sdar ini semua terjadi karena kesalahanku. Karena aku berkata agar dia mati dan dia berusaha mengejarku. Aku juga melarikan diri disaat dia sekarat. Betapa hebatnya aku ini? Seorang makhluk hina yang lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding keadaan orang yang amat berarti baginya yang telah berada di ujung tanduk.

AKU KINI SENDIRIAN

Tiba-tiba saja Ayah memberikanku sebuah surat. Aku benar-benar tahu dari tulisannya yang sangat rapi dan dengan gaya tulisan yang sangat khas.

Bagaimana keadaanmu, Kakak? Baik?
Jika Kakak menerima suratku ini kemungkinan besar aku telah tiada. Aku menyesal untuk mengatakannya tapi itulah kenyataan yang menakutkan tapi harus diterima. Aku tahu bahwa aku hanyalah adik yang bodoh dan menyusahkan semuanya. Aku hanya menjadi beban dan tidak tahu terima kasih. Aku tidak tahu apakah di waktu yang akan datang akan terjadi perdebatan mengenai hal ini atau tidak tapi aku ingin menyampaikan alasanku kenapa aku tidak ingin dioperasi.

Pertama, biayanya mahal. Dengan pengobatanku hingga saat ini pastilah Ayah dan Ibu telah mengeluarkan banyak biaya. Aku tidak bisa membuat mereka terbebani lagi.

Kedua, kemungkinan hidup. Dengan kemungkinan 30% tidak cukup membuatku tertarik untuk membuang uang Ayah dan Ibu pada kesempatan yang kecil itu. Belum lagi kesempatan untuk sembuh totalnya. Bagaimana jika aku justru mati karena operasi tersebut?

Ketiga, aku tidak ingin membuat paradigma negatif akan operasi. Jika seandaninya hidupku singkat atau gagal saat dioperasi, pasti akan muncul pikiran negatif akan operasi. Aku tidak ingin terjadi pada siapapun terutama keluarga kita.

Keempat dan alasan yang hampir menjadi dasarnya adalah aku takut. Keberanianku tidak cukup untuk mengambil kesempatan itu. Kesempatan 30% hidup yang diiming-imingkan masih kalah dengan iming-iming kematian 70%. Aku tidak ingin hidupku berakhir di ruang operasi. Meski sebenatar, aku ingin bersama kalian sebentar lagi. Terutama kamu, Kakak. Aku ingin terus bertahan hingga hasil seleksi provinsi keluar. Namun, aku tahu kesempatanku kecil. Aku ingin Kakak bisa masuk nasional dan memenangkannya. Itu sudah sangat baik bagiku.

Kalian semua sangat berarti bagiku. Jika bisa, aku ingin hidup selamanya meskipun tidak keluar dari rumah sakit. Sayang Tuhan berkata lain. Takdir yang telah digariskan telah berbicara. Ini adalah waktunya perpisahan, Kakak. Meskipun sendiri, Kakak harus tegar dan saling membantu terutama membantu Ayah dan Ibu.  Aku akan selalu hidup di hati kalian. Aku harap Kakak tidak akan melupakanku. Selamat tinggal dan sampai jumpa~ :D

Aku tidak sanggup menahan air mataku. Kertas yang ditulis Rena itu kini telah basah oleh air mataku.

“Bodoh, bagaimana mungkin aku melupakanmu?”

Emosi kesedihan yang tak mampu kutahan, mengapa engkau amat menyakitkan? Aku akan menanggung dosa ini dan terus hidup dalam sakitnya kehilangan dirimu, Rena. Bersama hujan yang menjadi saksi akan kematian dan pemakamanmu. Inilah duka di balik hujan, sebuah masa lalu dimana hujan menjadi saksi bisu betapa kamu sangat berharga bagiku, Rena.


Catatan Kaki
[1] Kemoterapi

(bahasa Inggrischemotherapy) adalah penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Dalam penggunaan modernnya, istilah ini hampir merujuk secara eksklusif kepada obat sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker.

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 2 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar