Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 1

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 1 : Sang Putri Panggung

“Seorang putri yang memiliki kekuatan sihir berusaha menciptakan sangkar yang tak terlihat namun dia terperangkap di dalamnya bersama pangeran yang diidamkannya. Kini dia punya dua pilihan, hidup tak peduli akan sangkar bersama pangeran atau memberitahukan kebenarannya pada pangeran.”

Manakah yang akan kamu pilih?

Hari pertama duduk di kelas 2 SMA, sebuah semangat masa muda terus mengalir dalam tubuhku. Kutarik pelan napasku dan hembuskan secara perlahan di antara sela-sela jalanku menuju sekolah, menjaga tradisi lama yang tiada pernah kutinggal. Kini aku pun telah sampai di gerbang sekolah. Sudah satu tahun lamanya aku melewati gerbang ini tapi kini aku melewatinya dalam tingkat yang berbeda. Namun, belum sempat aku melewati gerbang itu, aku sudah di tabrak oleh seseorang dari belakang dan membuatku hampir jatuh.

Dia melihat sekilas ke arahku dan aku pun melihat sekilas ke arahnya akan tetapi dia segera menoleh dan terus berjalan tanpa memedulikanku. Aku hanya dapat geleng-geleng kepala. Ku perhatikan dengan saksama orang yang menabrakku. Dia bukanlah seorang preman berbadan besar namun seorang perempuan berambut panjang berwarna hitam dengan gaya rambut ponytail.


Aku pun berusaha bersabar dan tidak memedulikannya dan mulai bergerak ke lantai dua dan memeriksa pintu kelas yang ditempeli kertas absen. Kelas XI-1, bukan, XI-2, bukan, XI-3, bukan dan terus seperti itu hingga aku melihat kertas yang terpampang di kelas XI-9.  Namaku ada di sana!

Aku bergegas masuk dan melihat beberapa orang terlihat sedang asyik berbicara dengan yang lain dan kemungkinan mereka ada teman sekelas dahulunya. Aku memilih untuk duduk di sudut kanan paling belakang karena terlihat kosong dan dekat dengan jendela. Sekitar lima menit kemudian kelas mulai penuh dan bel masuk segera berbunyi. Tak lama kemudian guru masuk dan memperkenalkan dirinya.

“Mungkin ada beberapa yang sudah kenal dengan Ibu karena bertemu di luar jam pelajaran. Tapi karena ini baru tatap resmi kita di kelas, Ibu akan memperkenalkan diri. Nama Ibu adalah Rika Rahdayu. Biasa dipanggil Ibu Rika. Tahun ini Ibu mendapat amanah menjadi guru fisika kalian dan menjadi wali kelas kalian.”

Kelas mulai ribut dan membicarakan Ibu Rika. Dia memang terkenal sabar dan dekat dengan siswa. Belum lagi sangat lihai dalam mengajar dan dianggap sebagai salah satu guru terbaik di sekolah ini.

“Karena Ibu belum hafal, yang tersebut namanya tolong berdiri dan memperkenalkan diri supaya Ibu bisa cepat ingatnya.”

Mereka mulai memperkenalkan diri mereka satu per satu. Aku tidak dapat mengingat semuanya tapi setidaknya aku mulai tahu dengan mereka. Tidak masalah, seiring waktu aku pasti mengenal mereka. Pemilihan pengurus kelas pun dilakukan. Namun aku heran karena mereka langsung melakukan aklamasi pada orang-orang tertentu. Karena terjadi secara merata dan cepat, pengurus kelas terpilih dalam waktu tidak lebih dari 10 menit.

Aku mulai bingung, apakah aku kurang bersosialisasi atau mereka memang kebetulan saling kenal?

***

Jam istirahat pun berbunyi. Aku yang tidak biasa membawa bekal dari rumah segera membeli roti favoritku dan membawanya ke taman yang berada dekat dengan auditorium sekolah. Dengan membawa makananku, diriku duduk di bawah pohon favoritku pula ditemani angin lembut yang membelai. Ah, terasa seperti sudah lama sekali.

Ketika aku sedang makan, aku iseng memperhatikan sekitarku dan menemukan sebuah buku terbaring di atas rumput yang sama dengan rumput yang kududuki. Aku mengambilnya dan melihat kovernya. Tidak ada apapun di kovernya kecuali sebuah tanda tangan yang tidak bisa kubaca. Aku mulai membuka lembar pertamanya dan menemukan sebuah tulisan,
Seorang putri yang memiliki kekuatan sihir berusaha menciptakan sangkar yang tak terlihat namun dia terperangkap di dalamnya bersama pangeran yang diidamkannya. Kini dia punya dua pilihan, hidup tak peduli akan sangkar bersama pangeran atau memberitahukan kebenarannya pada pangeran,

Manakah yang akan kamu pilih?

Aku hanya tersenyum. Mungkin ini adalah buku dari seseorang yang suka menulis atau semacamnya tapi tertinggal di sini. Tapi pertanyaannya bagus juga, manakah yang akan kamu pilih ya… mungkin kalau aku mendapat pilihan seperti itu aku akan…

“Seorang putri yang memiliki kekuatan sihir…”

Aku mendengar suara seseorang yang persis sama dengan kata-kata yang ada dalam buku ini. Karena aku merasa orang tersebut adalah pemilik buku ini, aku bergegas menuju auditorium yang ternyata tidak dikunci.

“Hidup tak peduli akan sangkar bersama pangeran atau memberitahukan kebenarannya pada pangeran, manakah yang kamu pilih?”

Aku melihat seorang perempuan dengan suara lembut di atas panggung auditorium dengan memperagakan dirinya sebagai seseorang yang bertanya. Aku cukup terkejut matanya tertuju padaku seolah menungguku menjawab pertanyaannya.

“Haruskah aku memilih di antara kedua pilihan itu?” tanyaku dengan canggung.

“AH! Seharusnya bukan kamu yang menjawabnya tapi aku! Aku sebagai putri bukan kamu!”

Kini dia mendatangiku dengan cepat disertai rasa marah.

“Kenapa kamu ada di sini? Dan kenapa juga kamu memegang bukuku?”

“Memangnya tidak boleh ke sini? Soal buku ini, aku hanya menemukannya di luar dan sepertinya tertinggal jadi aku mau mengembalikannya padamu.”

“Kalau begitu… terima kasih.”

Sepertinya dia tersipu malu karena terlalu cepat berburuk sangka. Aku tidak ambil pusing dan berjalan meninggalkannya. Namun, sebelum aku dapat pergi, dia menghentikanku.

“Maukah kamu melihat aku latihan drama? Aku sudah lama tidak melakukannya dan aku ingin seorang penonton menjadi juri untukku.”

“T-tapi bagaimana dengan jam istirahatnya?”

“Tidak lama kok. Aku mohon!”

Karena aku tidak sanggup menolak permohonannya, aku pun duduk di salah satu kursi penonton yang ada sambil menunggunya bersiap. Ketika dia memulai performanya, suara lembut nan menyentuh mulai terdengar membacakan kata demi kata yang masih terukir jelas di kepalaku.

“Manakah yang akan kamu pilih?”

Terdengar suaranya mengucapkan pertanyaan itu, pertanyaan yang sempat membuatku canggung. Seharusnya dia menyelesaikan penampilannya dan aku harus bertepuk tangan tapi entah kenapa aku tidak melakukannya. Aku merasa, dia masih ingin meneruskannya.

“Tentulah sebagai Sang Putri yang tak lagi mampu melakukan apapun, hidup bersama pangeran adalah semua hal yang kuinginkan karena di balik sangkar ini menunggu kenyataan pedih yang tak mampu kutanggung di pundak kecilku. Namun, apakah daya diriku yang hanya tahanan di sangkar tak terlihat ini. Semua lalu kembali padamu pilihanmu, Pangeran. Jadi, apakah jawabanmu?”

Dia mengarahkan tangannya padaku. Kali ini aku tidak menjawabnya karena aku tidak ingin kejadian sebelumnya terjadi. Aku hanya menunggu dan memperhatikan geraknya. Kuperhatikan dia perlahan melangkah turun dari panggung menuju ke arahku. Jantungku berdegub semakin kencang entah mengapa tapi semakin dekat dia, semakin cepat juga detak jantungku. Kini dia telah berdiri di depanku dengan tatapan penuh rasa memelas.

“Jawabanmu?”

Aku masih tidak menjawab. Terdiam kemudian hanyut dalam drama perasaan ini.

“Kenapakah perlu waktu yang terlalu lama bagimu? Kamu dapat tinggal disisiku selamanya atau bunuhlah aku, Pangeran. Niscaya kamu akan bebas dari sangkar ini.”

Dia merangkul tanganku dan mengangkatnya setinggi dadaku. Degup jantungku semakin tidak karuan.

“Kemanakah wajahku harus kuhadapkan? Apakah Putri ingin membuat tanganku berdarah atau hatiku mati? Kini jawaban Putri terbaring di hadapan Putri sendiri.”

Sebuah kalimat itu spontan meluncur. Sayang sekali, aku harus mengucapkan kata-kata seperti ini di depan orang bukan kertas. Aku malu karenanya. Dia pun terdiam tak meneruskan penampilannya. Apa karena dia terkejut dengan kata-kataku? Aku pun berusaha mencairkan suasana.

“Maafkan aku… penampilanmu bagus sekali sampai-sampai aku terbawa suasana…”

“Tidak, tidak… itu bagus sekali. Aku tidak menyangka kamu akan menjawabnya dengna kata-kata seperti itu… Hmmm benar juga, kamu siapa? Oh ya! Kita belum berkenalan. Namaku Nindi.”

“Perkenalkan namaku Rifki.”

“Rifki? Rifki Anwar?”

“Hmmm kenapa kamu tahu?”

“Tentu saja aku tahu! Aku begitu kagum dengan karya naskah drama yang kamu buat! Aku dengar kamu waktu SMP sudah sampai tingkat nasional bukan?”

“Ah hahahaha… itu cerita lama. Sekarang aku sudah tidak terlalu aktif lagi karena aku ingin fokus belajar.”

“Tapi aku tahu kalau banyak pementasan drama yang memakai naskahmu bukan? Termasuk pementasan yang ada di sekolah!”

“Aku hanya membantu mereka dan berbagi sedikit pengalaman. Tidak ada yang istimewa.”

Dia menundukkan kepalanya ke arahku dan berkata,

“Tolonglah aku! Aku ingin membuat sebuah cerita yang berkesan setidaknya untuk penampilan terakhir kalinya.”

Aku hanya tersenyum. Aku mengerti dia yang ingin memberikan yang terbaik untuk penampilan terakhirnya sebelum dia menginjak kelas tiga dan fokus pada belajarnya.

“Baiklah, aku mengerti. Datanglah kapan saja sewaktu istirahat atau pulang, aku akan membantumu. Kamu bisa menemukanku di kelas XI-9.”

“Oh, baiklah. Setidaknya sekarang aku lebih bersemangat!”

“Baguslah kalau begitu.”

Bel tanda masuk telah berbunyi dan memutus pembicaraan kami.

“Ckckck… waktu cepat sekali berlalu. Aku berikan dua jempol untuk penampilanmu, aku terkesan. Tapi bel masuk sudah berbunyi. Jadi, sepertinya kita harus mengakhiri pembicaraan kita di sini.”

Dia hanya menjawab dengan senyumannya.

“Aku berharap dapat bertemu denganmu secepatnya.”

Kami berpisah di depan pintu auditorium. Aku tidak yakin dia mau kemana tapi aku tidak mampu juga bertanya padanya. Aku pun lupa, bertanya siapa nama panjangnya. Sudahlah… jika nasib telah berbicara kami pasti bertemu kembali. Aku melangkah pelan menuju kelasku.

***

Bel pulang berbunyi keras hingga memekakkan telingaku. Semua orang menyambutnya dengan cita tak terkecuali diriku. Bersama langkah kaki guruku yang melangkah meninggalkan kelas, semua teman sekelasku dan termasuk aku meninggalkan ruangan yang sudah dipenuhi kemonoan itu.

Aku kemudian menyusuri tangga dan lorong hingga mencapai lapangan yang menghubungkan bangunan utama dengan gerbang utama. Di antara orang-orang yang sibuk bercakap-cakap dengan teman-temannya, aku berjalan, sendirian tiada kawan, tiada lawan. Namun hal itu berubah ketika aku melihat seorang perempuan cantik yang menunggu di depan gerbang dan segera berlari ke arahku. Dia merupakan gadis yang sama dengan gadis yang kutemui di auditorium. Benar, itu adalah Nindi.

“Kenapa kamu lama sekali? Aku sudah menunggumu dari tadi!” ucapnya bersemangat.

“Memangnya ada apa?” tanyaku heran.

“Temani aku dong!”

“Ha!?”

Dalam kebingunganku, dia segera menarik tanganku dengan kuat tanpa bertanya.

“Tunggu dulu, kita mau kemana?”

“Diam dan lihat saja!”

Aku hanya bisa menghela napas ketika dia berkata seperti itu. Dia terus menuntunku menuju suatu tempat yang tidak kuketahui. Setelah 15 menit berjalan, kami sampai di taman kota. Memang jarak antara sekolahku dengan taman kota tidaklah jauh tapi tidak banyak juga yang mengunjunginya (mungkin karena terlalu biasa atau tidak terlalu “wah”).

Dia masih belum melepaskan tangannya. Dia terus mengajakku ke suatu tempat di taman ini. Dia kemudian berhenti di sebuah kedai es krim. Kali ini dia melepaskan tanganku dan memesan dua es krim.

“Tolong es krim rasa coklatnya satu. Kamu mau rasa apa?”

“Ha? Eh… vanila saja…”

“Kalau begitu coklat dan vanila ya, Pak.”

Penjual es krim kemudian mengambilkan pesanan kami. Ketika aku akan mengambil uangku, dengan cepat Nindi membayarnya.

“Tidak usah, biar aku saja yang traktir,” katanya ramah.

Aku pun hanya bisa menerima es krim darinya tanpa protes. Sambil menikmati es krim, dia terus berjalan ke arah lain dari taman ini. Aku mengikutinya, langkah demi langkah dan terus memperhatikan sekitar. Kini dia telah berhenti di sebuah kursi taman dan segera duduk. Melihatnya duduk lantas aku mengikutinya, duduk di sampingnya.

Dia terus menikmati es krimnya di bawah lindungan pohon yang rindang dan matahari sore. Tiba-tiba saja dia berhenti dan berkata,

“Aku ingin sekali membuat naskah drama yang dapat kutampilkan. Namun, aku hanya mampu memainkan peran, bukan membuat naskahnya,” ujarnya pelan.

“Semua tentu ada prosesnya. Selama kamu ada keinginan, pasti ada jalan.”

Dia terlihat sedikit tersenyum dan mulai memakan es krimnya kembali. Setelah dia memakan habis semua es krimnya, dia berkata,

“Apa bisa aku menyelesaikannya sebelum waktunya? Aku dikejar waktu.”

“Jangan khawatir! Terkadang kita perlu motivasi yang membuat kita dapat terus berkarya.”

“Kamu ini, benar-benar!”

Dia mulai mengubrak-abrik rambutku.

“Kamu ini… mirip sekali dengan Ayahku!” sebutnya dengan senyumnya yang belum pernah kulihat, sebuah senyum yang membuat hatiku berdebar-debar.

“Selalu menyemangatiku dan mau menemaniku kemanapun, jika saja waktu dapat berhenti di waktu itu…,” ucapnya pelan.

Aku memukul pelan kepalanya,

“Jangan manja! Hidup terus bergulir! Walaupun keras tapi inilah kenyataan! Terus melangkah tanpa rasa ragu adalah jawabannya! Ada lebih banyak kebahagiaan di luar sana!” sebutku.

“Ha!?” Nindi sontak kaget dengan kata-kataku.

Melihat reaksinya yang tidak biasa itu aku lantas tertawa lepas.

“Apa yang kau tertawakan?”

Setelahnya dia langsung memalingkan wajahnya karena kesal.

“Kamu mirip sekali dengan adikku,” kataku pelan.

Benar, mungkin itulah alasan terselubung kenapa aku langsung menyetujuinya dan membantunya. Aku mungkin telah melihat adikku di dalam dirinya. Mengingat adikku air mataku mulai bercucuran, mampu kata-kata mengungkap perasaanku.

Dia melihat ke arahku dan terlihat panik.

“Kenapa kamu menangis?”

Aku tak menjawabnya, aku takut mengatakannya. Benar, kenyataan akan adikku atau lebih tepatnya kembaranku yang meninggal. Namun ku kuatkan diriku, mengusap air mataku dan berkata,

“Kamu mengingatkan adikku ketika dia masih hidup. Sayang sekali dia meninggal 3 tahun yang lalu karena leukemia[1].”

“M-maafkan aku…,”

“Ini semua bukan salahmu.”

Benar, ini bukan salahnya. Ini karena aku terus hidup dalam bayang-bayang adikku. Meskipun aku dikatakan kakak sedangkan dia adik, bukan berarti aku lahir duluan. Ini hanya karena aku menang suit. Aku sedikit tersenyum mengingat momen-momen itu. Sayang sekali karena aku kurang memperhatikan keluhannya saat itu dan tidak menyadari dia mengidap leukemia. Benar, kedua orang tuaku mempercayai adikku itu padaku tapi aku membiarkannya. Karena itulah aku hidup dalam bayang-bayang kematiannya dan penyesalan yang amat mendalam.

Aku mulai menulis berbagai naskah drama untuk membuatnya senang selama dirawat di rumah sakit. Aku pikir itu adalah sedikit hal yang dapat menghiburnya. Namun, sejak kematiannya akupun menarik diri setelah aku memenuhi permintaannya untuk ikut lomba menulis naskah drama tingkat nasional. Kini, aku hanyalah boneka dari drama yang kuciptakan sendiri.

Dalam penyesalan itulah aku berusaha memberikan berbagai rasa perhatian pada orang-orang yang ada di sekitarku. Inilah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku. Termasuk membantu orang yang ada di depanku ini. Bersemangat, memiliki suara lembut dan indah, serta berambut panjang berwarna hitam, dan mata yang penuh visi untuk maju, terlihat sama dengan adikku. Bersama rasa sakit ini, air mataku kembali jatuh. Pada akhirnya aku hanyalah kesalahan yang tercipta, tak berarti, tiada guna.

Ketika mataku ku alihkan pada Nindi, tiba-tiba saja dia terlihat menjauh, semakin cepat. Padahal aku tidak bergerak sedikitpun dari tempat aku duduk. Apakah yang terjadi? Aku hanya melihat dia berusaha meraihku sebelum semua yang tersisa hanyalah pandangan gelap bersama hati yang tergores oleh luka masa lalu.

Catatan Kaki
[1] Leukemia
/leu·ke·mia/ /léukémia/ n penyakit akut atau menahun krn adanya satu tipe leukosit tidak matang yg berkembang biak secara ganas di dl sumsum tulang atau kelenjar limfa, yg kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya; kanker darah

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 1 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar