Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 3

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 3 : Kebenaran yang Terdistorsi

Kebenaran tiada dapat ditutupi. Sedikit demi sedikit cahaya yang menunjukkan pada kebenaran kini terungkap. Mata Pangeran pun mulai terbuka akan kebenaran. Sebuah kebenaran pahit mengenai hidupnya yang terkurung dalam sangkar mulai terungkap, sedikit demi sedikit.

Kini hujan yang menjadi saksi bisu itu terus mengejekku dengan suara keputusasaan di hari itu.

“Makanannya sudah siap, Rifki.”

Aku melihat ke belakang dan menemukan di sana Nindi telah berdiri dengan wajah yang penuh kecemasan.

“Baiklah.”

Aku berjalan ke arahnya yang telah menunggu di depan pintu. Kami pun berjalan bersama menuju dapur. Karena aku lupa sesuatu yang penting, aku segera bertanya padanya,

“Aku dimana?”

“Astaga, kamu baru sadar sekarang?”

“Sepertinya ketika aku bangun, kesadaranku belum pulih sepenuhnya, pikiranku masih kemana-mana.”

“Tentu saja kamu di rumahku. Aku tidak mungkin membuat makanan di rumah orang lain kan?”

“Hmmm kalau begitu apa itu kamarmu?”

“Tentu saja tidak! Ogah, masa aku harus membawamu ke kamarku?”

Aku hanya terdiam ketika aku teringat hal lainnya yang aku lupakan.

“Terima kasih, Nindi. Kamu menyelamatkanku.”

“Jangan khawatir! Kamu hanya perlu membantuku menyelesaikan naskah dramaku dan aku anggap kita impas.”

Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya.

“Iya-iya, aku tahu,” jawabku.

Kini gilirannya yang tersenyum mendengar jawabanku. Dia segera berjalan lebih cepat dariku menuju dapur. Mungkin dia ingin menyiapkan makanan. Ketika aku melihat sekeliling, aku menyadari rumah ini hanya dua tingkat tapi sangat panjang ke belakang. Rumah yang berbeda denganku, kecil dan penuh sesak. Aku pun duduk ruangan makan menunggu makanan siap.

Terlihat Nindi membawa 2 piring yang berisikan ayam goreng dan cabenya serta sebuah piring lain yang berisikan sayur kol dan mie kuning.

“Ayo dimakan.”

Ujarnya lembut padaku.

“B-baiklah.”

Aku mulai mengambil 1 potong ayam dan sedikit sayur. Terlihat Nindi sudah makan terlebih dahulu, meninggalkan aku yang masih setengah termenung.

“Ada apa, Rifki?”

“Ah, tidak. Aku hanya ingin berterima kasih pada orang tuamu. Mana mereka ya?”

“Mereka jarang pulang. Mereka biasanya hanya pulang di akhir pekan.”

“Begitukah… aku mengerti.”

Dengan sedikit rasa lega aku mulai memakan masakan buatan Nindi tersebut. Ketika suapan pertama itu masuk ke mulutku, aku langsung kaget.

“Enak!”

“Hehehe, yang buat siapa dulu dong!”

Aku terus memakannya. Sedikit demi sedikit, Nindi mulai bercerita mengenai beberapa hal mengenai kehidupannya. Seperti ayahnya yang menyukai ayam goreng atau ibunya yang sering memarahinya karena makan sambil bicara. Kami seperti… tidak asing, bagaikan kakak beradik di ruang makan. Aku pun hanya tersenyum.

“K-kenapa kamu malah tersenyum, Rifki?” tanyanya.

“Tidak!”

Aku segera mengelus rambutnya. Anehnya dia tidak marah dan melawan. Dia hanya membiarkannya dan mulai terlihat manja karenanya. Apakah dia kesepian selama ini? Apakah dia kesepaian layaknya Rena yang terus melihat dunia dari dalam sangakrnya? Makan malam itu berlalu dengan cepat.

***

“Terima kasih makam malamnya, Nindi.”

“Tidak apa-apa kok. Aku sebenarnya sudah lama ingin mengundang teman seperti ini.”

“Apa kamu tidak pernah mengundang temanmu ke rumah sebelumnya?”

“Tidak, biasanya aku yang ke rumah mereka.”

“Hmmmm….”

Kami terus berbincang santai sampai aku tiba di pintu rumahnya. Aku mengambil sebuah payung yang terletak di tepi pintu depan sambil berkata,

“Aku pinjam dulu ya payungmu!”

“Jangan lupa kembalikan besok.”

“Oke!”

Aku pun mulai membuka payung tersebut sambil melihat sekilas ke arah pintu kayu yang diapit oleh dua jendela besar yang terbuat dari kaca dan dipasangi pagar besi agar tidak ada yang dapat masuk meskipun jendela tersebut dipecahkan. Dari balik kaca itulah tampak berkas air membiaskan cahaya hingga tampak layaknya bintang di langit.

Aku membuka pintu dan mendapatkan sambutan keras dari angin yang marah. Saking kerasnya, payung ku langsung terbalik dan mulai terserat angin tersebut. Dengan cepat Nindi menarikku ke dalam dan menutup pintu.

“Jangan berpikir untuk pulang dengan keadaan cuaca seperti ini!” ingatnya.

“Tapi…”

“Kalau soal orang tuamu, kamu bisa menelpon mereka, bukan? Mereka pasti mengerti kalau hujan ini tidak bisa ditempuh.”

Nindi mulai merogoh sakunya dan menyodorkan benda yang diambil dari sakunya.

“Pakailah handphoneku ini!”

“Tidak usah, orang tuaku sedang keluar kota.”

“Begitukah…”

Nindi kemudian berjalan ke dalam. Sebenarnya ini bukan masalah orang tuaku mengizinkan atau tidak tapi lebih kepada idealisme pribadiku. Bagaimana mungkin aku tidur satu atap dengan perempuan yang baru kukenal dan tanpa pengawasan? Aku takut berjalan terlalu jauh. Namun, sepertinya dia tak acuh akan hal tersebut. Sebaiknya aku juga sama.

Aku hanya duduk di ruang keluarga karena tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak ada pr untuk hari pertama jadi aku pun benar-benar bebas. Selain itu Nindi hilang entah kemana. Jadilah aku yang duduk termenung dengan bosannya. Aku pun mulai menutup mataku. Mungkin karena kondisiku yang belum fit, aku sekarang sudah mengantuk.

Tiba-tiba saja wajahku dilempari sesuatu. Ketika aku membuka mataku dan melihat benda apa itu, ternyata sebuah piyama.

“Itu punya Ayahku. Aku rasa muat untukmu. Kalau mau tidur, mandilah dulu,” kata seorang perempuan yang baru saja membuatkan makam malam untukku.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Aku pun bergegas mandi karena mataku sudah sangat berat untuk terus terjaga. Dengan segala kemalasan yang ada, aku telah selesai mandi dan memakai piyama milik ayah Nindi. Pendapatku, piyama ayahnya sangat pas. Entah perasaanku atau memang ukuran badan kami sama, entahlah.

Aku pun bertanya pada Nindi apa aku bisa tidur di kamar sebelumnya. Dia hanya mengangguk pelan sambil menonton TV.

“Jangan tidur terlalu malam, Nindi. Besok kita harus bangun pagi-pagi.”

“Iya-iya. Tidurlah dulu. Kamu sudah mengantuk kan?”

Aku hanya menghela napas pelan dan meninggalkan Nindi karena memang sudah mengantuk. Ketika aku sudah sampai di tempat tidur, aku segera merebahkan badanku dan segera tidur.

***

Pagi menjelang dan sinar mentari hangat telah menyentuh kulitku. Aku segera membuka jendela dan menghirup udara pagi nan segar. Dalam satu tarikan, aku merasa hidup kembali. Mungkin aku bangun terlalu pagi, pikirku. Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul enam. Aku pun bergegas mandi agar kami tidak berebutan. Setelah mandi aku pun membangunkan Nindi yang tidur terlelap di ruang keluarga dengan TV yang masih menyala.

“Bangun, Nindi. Bangun…”

“Ugh…”

Meskipun sudah kupanggil dan kugoncang pelan tubuhnya, aku tidak mendapatkan respon apapun. Aku pun mulai menepuk pelan badannya dan tiba-tiba dia mulai mengigau,

“Akhhh, berisik sekali! Aku masih ngantuk!”

Tiba-tiba saja sebuah tamparan mendarat di wajahku. Benar-benar sakit. Dengan sabar aku masih terus membangunkannya. Setelah beberapa menit akhirnya dia terbangun.

“Hmmmm …kenapa kamu di sini, Rifki?”

Dia sepertinya masih mengigau.

“Oh ya benar juga ...kemarin ... Tunggu dulu …kenapa pipimu? Hahaha pasti karena terjatuh atau semacamnya kan? Nyahahaha …”

Nindi hanya berlalu tanpa rasa bersalah. Sepertinya dia masih mengigau. Tidak lama kemudian terdengar suara “aduh” dari kamar mandi. Sepertinya Nindi sudah sadar sekarang kalau dia tidak tidur lagi.

Sebagai rasa balas budi, aku memutuskan untuk memasak sarapan. Walaupun tidak sebaik Nindi, setidaknya aku masih bisa memasak sesuatu.

“Kamu masak mi, Rifki?”

“Kamu mau mi goreng atau mi rebus, Nindi?”

“Hmm mi goreng sajalah. Pakai telur setengah masak ya!”

“Oke-oke.”

Begitulah maksudku dengan “masih bisa memasak sesuatu”.

Tentu saja memasak mi tidak terlalu sulit dan tidak memakan waktu lama. Setelah selesai aku segera menyajikannya dan menyantapnya dengan Nindi yang terlihat kelaparan tersebut.

“Enak juga,” komentar Nindi.

“Ah, ini cuma mi kok. Jangan terlalu dilebih-lebihkan.”

“Serius, walaupun cuma mi, kalau enak ya enak!”

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya.

Setelah makan dan memakai sepatu, kami segera berangkat ke sekolah yang ternyata hanya berjarak beberapa langkah.

“Aku baru tahu kalau rumah ini hanya berjarak dua rumah dari sekolah …”

“Apa aku belum memberitahukannya?”

Sepanjang jalan kami pun hanya membahas hal-hal tidak perlu dan aneh. Di depan pintu utama kami berpisah. Meskipun aku penasaran kemana ia pergi, tapi rasa ingin tahu tidak cukup untuk mengubah pikiranku meletakkan tasku secepatnya di kelas. Karena kemarin aku berada di rumah Nindi, aku tidak membawa satupun buku pelajaran untuk hari ini.

Sebelum aku sampai di kelas, aku bertemu Doni, teman sekelasku dulu.

“Hebat sekali kamu, baru kemarin masuk sekolah, hari ini sudah pergi ke sekolah bersama seorang gadis.”

“Apa maksudmu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Pura-pura tidak tahu, ya? Aku melihatmu keluar dari sebuah rumah bersama seorang gadis. Siapa dia? Pacarmu?”

“Err ...agak susah menjelaskannya tapi dia bukan pacarku.”

“Berusaha mengelak ya?”

“TIDAK!”

“Ah, kalau begitu dia kelas berapa?”

“Entahlah.”

“Entahlah? Bagaimana mungkin kamu bisa menginap di rumah seseorang yang bahkan kamu tidak tahu dimana kelasnya? Ada apa ini?”

“Sudah kubilang, sangat sulit menjelaskannya. Pokoknya, bisa kamu tolong aku mencarikannya? Dia bisa saja kelas I, II, III.”

“Baiklah. Siapa namanya?”

“Nindi.”

“Nindi …?”

“Entahlah, dia hanya mengatakan Nindi.”

“Aneh sekali.”

***

Waktu istirahat pun tiba. Aku segera menemui Doni dan menanyakan soal Nindi.

“Apa kamu yakin dia anak sekolah kita?”

“Tentu saja, dia memakai seragam sekolah kita.”

“Tapi, dari daftar nama, tidak ada yang bernama Nindi. Dan meskipun Nindi adalah nama panggilan, tidak ada yang kenal ataupun tahu.”

“Kemungkinan anak pindahan?”

“Lihat daftar ini.”

Doni menyodorkan padaku daftar nama anak pindahan yang dilengkapi fotonya.

“Apa ada yang menurutmu terlihat seperti Nindi-mu itu?”

“Tidak …”

“Entahlah. Coba cari dia dan tanyakan sekali lagi soal dirinya. Setidaknya nama lengkapnya.”

“Baiklah.”

Aku segera meninggalkan Doni dan berjalan ke arah auditorium. Aku menemukan Nindi di tempat yang sama dengan aku menemukan buku miliknya kemarin. Dia terlihat sedang duduk-duduk santai di bawah pohon.

“Kenapa kamu terus saja di sini?” tanyaku padanya.

“Tidak boleh ya?”

“Aku memang tidak bilang tidak boleh tapi …”

“Di sini sangat nyaman.”

Aku mengerti alasannya. Sebenarnya aku juga memilih pohon ini untuk tempat makan karena memang nyaman. Aku pun duduk di sebelahnya.

“Apa aku boleh tanya sesuatu, Nindi?”

“Apa?”

“Apa benar namamu hanya Nindi saja?”

“Iya. Kamu boleh melihat akta kelahiranku.”

“Hmm … begitu ya. Jadi, siapakah kamu sebenarnya?

“Ha?” lagaknya kaget.

***

Aku menatapnya dengan tatapan yang meyakinkan.

“K-kenapa kamu menatapku seperti itu, Rifki?”

“Kamu bukan murid sekolah ini kan? Aku sudah mencari semua nama murid di sekolah ini dan namamu tidak ada. Siapakah kamu sebenarnya?”

Tatapanku masih belum berubah.

“K-kenapa kamu sangat ingin tahu soalku?”

“Permasalahannya sekarang, aku tidak menemukan jejak tentang dirimu. Tidak di sekolah ini setidaknya. Jadi kamu itu siapa?”

“Apa kamu tidak percaya padaku, Rifki?”

Aku menggeleng. Aku percaya padanya tapi …

“Aku percaya padamu bagaimanapun kamu. Tapi, kenapa kamu justru tidak percaya padaku? Apa yang kamu sembunyikan di balik senyumanmu?”

“Kamu tidak mengerti!”

“A-apa?”

Nindi segera berdiri dan berlari meninggalkanku. Aku yang terkejut segera mengejarnya. Dia terus berlari ke gedung utama. Namun, karena aku tidak terlalu baik dalam berlari, dia dengan cepat mengambil rute berbelok dan membuatku kehilangan jejak. Aku terus berpikir, ada apa dengannya? Aku terus mencari ke beberapa daerah yang mungkin saja dia pergi namun aku tidak dapat menemukannya.

Waktuku semakin menipis dengan dibunyikannya tanda lima menit sebelum waktu istirahat berakhir. Memang sangat sulit menemukannya jika seperti ini. Namun, aku punya satu tempat yang belum kucari dan sekaligus tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Sebuah tempat di sudut sekolah yang dikatakan tempat dimana pembunuhan pernah terjadi. Sangat angker dan ditakuti sehingga tidak ada satupun siswa yang mendekati ruangan tersebut. Nindi bisa saja berada di sana.

Aku mulai berjalan sambil menguatkan keyakinanku. Lorong yang sepi dan tak terawat dimana ujungnya ialah ruangan menakutkan itu. Aku terus berjalan dengan hati-hati. Ketika aku sampai di depan pintunya dan mulai membukanya dengan perlahan, sebuah teriakan yang kukenal pun terdengar. Benar, suara tersebut dari Nindi.

“Jangan, Rifki!”

Tanganku tak terhentikan lagi. Aku membuka ruangan itu dan saat itulah kebenaranku terdistorsi mengenai dunia ini.

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 3 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar