Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 5


  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 5 : Tuan Putri yang Tertidur

Kini aku hanya melihat sebuah siluet nan kabur berjalan ke arahku.  Aku hanya dapat tersenyum tapi tidak tahu alasannya. Aku benar-benar kejam. Meninggalkan dirinya dengan perasaan bersalah dan membiarkannya sendirian di sangkar itu. Akhirnya aku lari lagi. Lari dari kenyataan yang membuatku takut. Sebuah kenyataan bahwa perpisahan akan selalu datang. Aku tidak mampu membunuhnya untuk membuat diriku selamat. Aku juga tidak mampu hidup selamanya bersama Nindi. Aku tahu, hanya masalah waktu sebelum kata “selamanya” itu roboh dan digantikan kata “perpisahan”.

Dalam hembusan terakhir itu pula aku bersyukur dapat menikmati waktu singkat bersamanya. Aku serasa kembali punya seorang adik yang mampu membuat hari-hari kecilku berarti. Namun, sekarang semuanya harus sirna. Kini waktunya aku kembali ke pangkuan dimana Rena berada. Aku benar-benar merindukannya. Dalam rasa kaku yang telah menyebar ke seluruh tubuh aku bergumam,

“Aku segera menyusulmu, Rena.”

Dan semuanya menjadi gelap gulita.

***

Aku merasakan tubuhku kembali. Perlahan aku membuka mataku dengan perasaan takut. Apakah sudah waktu untuk ditanyai malaikat? Apakah aku mampu menjawab rentetan pertanyaannya? Namun, yang kulihat bukanlah malaikat yang bersiap menanyaiku tapi seorang wanita yang merupakan malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan padaku yang bernama “Ibu”.

“I-bu?”

Awalnya ia yang melihat ke arah lain segera melihat ke arahku dan langsung terkejut. Dia segera memelekku erat. Terlihat dia begitu senang.

“Akhirnya kamu bangun juga, Rifki. Ibu sangat khawatir kamu tidak akan bangun lagi.”

Aku masih dapat mendengar kata-kata Ibu meskipun tidak terlalu jelas. Dengan pandangan yang juga masih kabur itu, aku melihat pandangan Ibu yang penuh khawatir. Sebuah pemandangan yang memberikan perasaan bersalah pada siapapun yang melihatnya. Inikah yang dilihatnya setiap hari? Kini aku baru mengerti bagaimana perasaan Rena.

Kini aku bertanya-tanya. Apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah aku seharusnya sudah mati? Aku yakin pemandangan itu. Aku yakin sudah menembak diriku sendiri saat itu. Apakah artinya membunuh diriku di dunia mimpi itu sudah tepat? Dalam keragu-raguan itulah aku baru teringat pada Nindi.  Seorang gadis yang ceria dan penuh dengan misteri. Kini aku terpisah dengannya meskipun dihubungkan oleh langit yang sama.

“Dimanakah kamu sekarang? Apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu tidak marah padaku yang tidak dapat menyelamatkanmu?”

Aku terus melihat ke arah jendela yang ada di samping ruanganku. Aku menghirup napas panjang. Aku melihat Ibu bergegas keluar. Mungkin dia ingin memberitahukan dokter. Sekarang aku merasa bersalah pada Ayah dan Ibu.  Mereka pasti sedih harus melihat sebuah pemandangan yang sama. Aku pasti mengingatkan mereka pada Rena.

“Di sini Pak Dok!” seru Ibuku dari luar kamar yang terdengar dari dalam.

Lalu setelahnya, Ibuku dan seseorang yang menggunakan pakaian serba putih pun masuk. Dia menyapaku dengan lembut,

“Selamat malam. Bagaimana perasaanmu, Nak?”

“Sedikit kaku, Pak,” jawabku jujur.

“Hahaha tidak apa-apa itu. Kamu sudah tidur satu minggu lebih jadi wajar saja kaku. Setelah rehabilitasi kamu pasti baik-baik saja.”

“Baiklah, Pak.”

“Sekarang, biar Bapak periksa dulu.”

Aku menurut saja. Dia mulai memeriksa mataku, mulutku, dan dadaku. Sepertinya dokter tersebut tidak menemukan hal yang aneh dari tubuhku.

“Tidak ada masalah. Mulai besok pagi kamu sudah bisa rehabilitasi.”

“Baiklah, Pak.”

“Beristirahatlah sekarang.”

Dokter pun berjalan pergi dan Ibuku menemaninya keluar. Aku yang tidak punya aktifitas lain memutuskan untuk segera tidur. Meskipun sebenarnya aku takut kembali ke dunia itu, dunia yang disebut sebagai dunia mimpi. Aku takut jika bertemu lagi dengan Nindi atau semacamnya. Dia mengingatkanku pada Rena. Aku tak kuasa jika harus kembali ke waktu itu. Aku tak mampu menahan beban itu lagi. Aku hanya mampu melarikan diri dan menutup mata dan telinga akan kebenaran yang telah terjadi.

Ibu kembali masuk. Dia duduk di samping ranjangku dan berkata,

“Tidurlah, Rifki. Besok kamu harus bangun pagi untuk rehabilitasi.”

“Baiklah, Bu.”

Aku hanya dapat menghadapkan punggungku pada ibuku. Aku tidak ingin dia menyadari bahwa aku hanya berpura-pura tidur. Dari suaranya, Ibu tampak pindah ke posisi lain. Aku tidak mampu melihatnya sekarang. Aku tahu betul kebiasaan Ibu jika menemani Rena hingga larut malam. Ibu akan tidur di sofa yang ada di ruang pasien.  Terkadang aku sedih mengingatnya dan semakin sedih ketika ia bersusah payah tidur di sana demi menemaniku.

Aku terus berpikir dalam heningnya malam itu, seperti inikah dunia yang dirasakan oleh Rena?

***

Aku mendengar sebuah suara. Suara yang dalam namun tidak keras. Tidak terlalu jelas akan tetapi aku berusaha menangkap kata-kata yang samar tersebut.

“Kenapa kamu meninggalkanku, Rifki?”

Aku segera melihat ke sekitar. Aku tidak menemukan asal suara tersebut. Hanya sebuah suara yang datang entah darimana. Sebuah bayangan tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Dia terus menggaungkan suara yang sama, pertanyaan yang sama. Kata-kata yang diucapkannya sangat khas. Bayangan itu pastilah Nindi yang menuntut balas. Aku tidak bermaksud meninggalkannya sendirian di dunia itu.

“Aku tidak bermaksud meninggalkanmu sendirian di dunia itu …”

“Lalu kenapa kamu menembak dirimu sendiri waktu itu?”

“Aku hanya … ingin mati.”

“Kenapa kamu ingin mati?”

“Aku tidak kuat lagi. Aku bagaikan gelas yang telah retak. Aku tidak mampu lagi menerima genggaman hangat. Karena jika aku digenggam, aku akan hancur berkeping-keping. Kamu … membawa genggaman hangat itu lagi layaknya genggaman hangat dari adikku. Aku takut diriku akan menjadi retak dan melukai tangan yang hangat itu. Aku pikir, lebih baik jika aku kembali ke sisi Tuhanku.”

“Sungguh pikiran yang naik, Rifki.”

Aku hanya tersenyum.

“Itu memang benar. Aku sudah tak berharap banyak dari hidupku ini. Namun, aku tidak menyangka kamu akan terjebak di dunia itu jika aku menembak diriku waktu itu,” kataku pelan.

“Itu tidaklah benar.”

“Ha?”

“Aku juga akan keluar dari dunia ini jika kamu keluar. Sangkar ini layaknya panggung drama. Jika semua pemainnya keluar, panggungnya pun roboh. Hanya saja, perlu sedikit waktu lebih untukku agar bisa keluar.”

“Bagaimana aku bisa bertemu denganmu lagi, Nindi?”

“Kita pasti akan bertemu.”

Aku tidak dapat melihat ekspresi apapun dari bayangan hitam itu. Ketika aku berusaha mendekatinya, aku tiba-tiba saja terbangun. Aku merasakan jantungku berdegup kencang dan napasku tak beraturan. Aku berusaha menenangkan diriku. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya dapat terdiam dalam kebingungan tiada ujung.

***

Kini aku telah siap untuk rehabilitasi. Dengan pakaian pasienku yang tidak terlalu menarik, aku dibawa dengan kursi roda oleh Ibuku menuju ruang rehabilitasi meskipun aku dapat berjalan. Aku hanya melihat lorong-lorong penuh dengan pintu menuju orang-orang yang tak berdaya. Sunggu pemandangan yang suram ketika kamu hanya dapat mendengar suara para pasien yang kesakitan, perawat yang memanggil dokter, dan para dokter yang sibuk memberi arahan dan perintah pada perawat. Juga, dengan suara EKG yang begitu menyayat hati. Semuanya bersatu dalam harmoni yang disebut rumah sakit. Aku terus berjalan dalam kesuram itu.

Kini, aku telah berdiri di sebuah pintu yang bertuliskan “Ruang Rehabilitasi”. Para perawat di sana telah menungguku dengan ramah. Aku mungkin bersyukur terhadap nasibku yang tidak harus bertemu dengan perawat dengan muka yang khawatir dan takut akan keadaan seorang pasien.

Mereka mulai menuntunku untuk berjalan. Mereka berusaha untuk membuat diriku tidak kaku lagi dengan terus berlatih dan berlatih. Untuk satu jam pertama, cukup sulit melakukannya. Bahkan, aku tidak pernah berpikir kalau aku selemah ini. Namun, untuk berikutnya, aku merasa lebih lapang dan bebas. Aku kini mampu berjalan dengan pelan meskipun tubuhku belum mampu menerima perintahku untuk berlari.

Setelah empat jam menghabiskan waktu untuk rehabilitasi, mereka memintaku untuk berhenti. Sayang sekali, padahal aku ingin terus berlatih agar secepatnya dapat kembali seperti semula. Aku tidak ingin berlama-lama di tempat orang-orang sakit ini berkumpul. Aku tidak suka bau obatnya, bau alkoholnya, bau anti anti biotiknya, bau dari dokter dan perawatnya, bau orang-orang sakit, dan bau orang-orang yang menjemput ajal mereka di sini. Aku juga tidak menyukai bau memori lama yang melekat padaku mengenai rumah sakit.

Aku kini duduk santai sambil menikmati minumku. Aku melihat Ibu terlihat senang ketika salah seorang perawat mengatakan sesuatu. Kemungkinan mengenai perkembanganku. Namun, tidak lama setelahnya, dia menerima telepon. Dia segera menemuiku dan berkata,

“Ibu harus pergi. Ada sedikit masalah di kantor. Apa kamu tidak apa-apa di sini sendirian? Ayahmu sepertinya juga tidak menjengukmu dalam waktu dekat.”

“Tidak apa-apa kok, Bu.”

“Baiklah. Ibu akan menitipkanmu pada perawat jadi jangan nakal.”

“Baik, baik, Bu! Aku bukan anak kecil lagi.”

Ibu mengelus kepalaku dan berbicara kembali pada perawat tersebut. Sepertinya dia memintanya untuk menitipkanku. Setelahnya, dia langsung pergi.

Aku yang ditinggal pergi itupun memutuskan untuk kembali ke ruanganku. Perawat itu khawatir karena aku memutuskan untuk tidak menggunakan kursi rodaku tapi aku meyakinkan mereka bahwa aku tidak apa-apa. Aku pun mulai menjelajahi lorong yang sama dengan lorong yang kulalui sebelumnya.

Aku juga melihat-lihat ke ruangan yang tersebar di lorong itu. Banyak hal yang kutemukan tapi semuanya rata-rata adalah kesedihan kecuali sebuah ruangan yang berisikan seorang ibu dengan anaknya yang baru lahir. Banyak hal dalam hidup ini, tapi rumah sakit hanya berisikan dua kemungkinan, kembali dengan tubuh bugar atau  kembali ke sisiNya.

Aku meneruskan perjalananku. Aku pun hampir tiba di ruanganku sendiri. Namun, sebelum aku terhenti di ruangan yang tepat berada di sebelah ruanganku. Aku mendengar suara EKG dari dalam ruangan tersebut. Aku pun penasaran, siapa yang dirawat di sana selayaknya rasa penasaranku ketika menjelajahi lorong ini.

Ketika aku mengintip dari jendela, aku melihat seorang gadis yang terbaring lemah. Ketika aku memperhatikan dengan lebih saksama, aku menemukan kenyataan pahit. Ku buka segera pintu kamar itu dan aku segera berjalan ke arah orang yang terbaring di dalam ruangan tersebut.

“N-Nindi?!”

Aku melihat wajah itu, wajah yang kukenal. Dengan wajah yang sangat menderita dan lemah, dia terbaring di atas ranjang di dalam ruangan yang dingin ditemani sebuah suara dari EKG. Aku terus melihatnya dengan pandangan sedih. Dia memang berkata akan bangun tapi apakah dalam waktu dekat?

Tiba-tiba saja ada seseorang dari belakang yang menyentuh pundakku. Aku segera berbalik dan menemukan dokter yang merawatku telah ada di belakangku.

“Oh ternyata itu kamu, Rifki …,” sahut sang dokter.

“Benar, Pak.”

“Apakah kamu mengenal Nindi?”

“Hmm kurang lebih begitu, Pak.”

“Apa kalian teman sekolah, tetangga, atau teman les?”

“Hmm itu …”

Aku tidak mampu melanjutkan kata-kataku. Aku tidak mungkin mengatakan pada dokter bahwa aku bertemunya di mimpi. Sangat tidak masuk akal, pikirku.

“Atau jangan-jangan kalian bertemu di mimpi?” tanya sang dokter.

“B-bagaimana dokter bisa tahu?” tanyaku heran.

“Tentu saja. Seorang Ayah harus tahu anaknya dengan baik. Termasuk penyakitnya.”

Aku terkejut ketika dia mengatakan “Ayah”. Jangan-jangan …

“Apakah Anda Ayahnya?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.

“Benar. Nindi adalah anakku.”

Ternyata dia benar-benar ayah Nindi. Aku bermaksud menanyakan kata-katanya tadi,

“Sebenarnya, apa penyakit yang diderita Nindi, Pak?”

Bapak tadi menghela napas. Dia kemudian mulai bercerita,

“Nindi dari kecil dilahirkan dengan jantung yang lemah dan kelainan otak. Jantungnya yang lemah membuatnya harus menghabiskan hari-harinya di dalam rumah. Sedangkan kelainan otaknya menyebabkan otaknya memancarkan gelombang otak yang aneh ketika tidur. Seharusnya ketika seseorang tidur, otak mereka memancarkan gelombang otak delta saja. Namun ketika Nindi tertidur, otaknya lebih cenderung menyamakan dengan frekuensi gelombang otaknya dengan orang terdekat. Jika terjadi dengan sesama orang yang tertidur, mereka berdua akan berbagi mimpi yang sama. Dengan kedua keadaan ini, Nindi harus diperlakukan khusus, berbeda dengan anak-anak lain.”

Aku mengangguk mengerti.

“Di saat itu, dia ingin sekali keluar untuk bermain dengan temannya. Bapak tentu saja melarangnya karena kesehatannya. Namun, dia bersikeras dan kabur dari rumah diam-diam. Ketika dia menunggu di perempatan jalan, sebuah mobil yang ugal-ugalan mengarah padanya. Di saat itulah kamu menolongnya. Apakah kamu ingat?”

“Tidak, tidak terlalu.”

“Hmm … mungkin karena shock. Namun, ketika kamu mendorongnya, dia terjatuh ke area jalan. Di saat itulah sebuah truk datang menabraknya.”

“Saya benar-benar tidak ingat …”

“Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menyelamatkan putriku. Kamu harus bernasib sama dengannya.”

Aku hanya tersenyum.

“Seharusnya Nindi bangun sebentar lagi karena kamu sudah bangun kemarin. Apa boleh Bapak minta tolong?”

“Tentu saja. Apa itu, Pak?”

“Bisakah kamu menemaninya setidaknya sebentar saja? Bapak harus pergi. Jika kamu ingin kembali ke kamarmu juga tidak apa-apa. Perawat akan mengawasi Nindi.”

“Tidak, biar saya saja.”

“Kalau begitu, terima kasih.”

Dokter tersebut permisi dan meninggalkan kami berdua. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, dia sempat mengatakan suatu hal,

“Oh ya, lusa kamu sepertinya bisa pulang kalau rehabilitasimu lancar.”

Aku tidak terlalu memedulikan kata-kata tersebut. Aku lebih fokus akan keingintahuanku akan dirinya. Banyak sekali misteri yang terselubung di balik keberadaannya. Aku ingin tahu. Aku ingin tahu kebenarannya. Dia yang sudah memporak-porandakan perasaanku, siapakah dia sebenarnya?

Kebenaran itu mulai terungkap ketika Tuan Putri yang tertidur mulai membuka matanya dan membalas genggaman tanganku.

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 5 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar