Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 4

  • Title: Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku
  • Author: Regio Agre
  • Genre: Slice of Life, Romance, Drama, Tragedy
  • Status: Completed

Bagian 4 : Cerita Kecil Mengenai Dunia

Kini pangeran hanya dapat terdiam akan kebenaran yang terucapkan dari mulut sang putri. Ketika pangeran berpikir bahwa semuanya hanyalah bualan, ia melihat kebenarannya. Kini di tangan pangeran terdapat pedang yang mampu membunuh putri dan membebaskannya dari sangkar tersebut. Namun, sang putri yang masih mengharapkan hati pangeran membujuknya untuk tinggal di sangkar tersebut bersamanya.

Sang pangeran pun mengambil keputusan.


Pintu kebenaran itu pun terbuka. Suara Nindi tak kuasa menghentikanku. Kini dalam keheningan itulah kami berdua melihat kebenarannya. Sebuah siluet hitam yang tak berujung. Aku pun harus berpikir dua kali tentang hal yang kulihat ini.

“A-apa ini?” gumamku.

Aku terus berpikir. Bagaimana mungkin sebuah ruangan dapat hitam sempurna? Bahkan lebih sempurna dari sebuah tembok yang dicat hitam. Apa ini? Aku pun mulai memberanikan diriku menyentuhnya. Namun Nindi meneriakkiku.

“Jangan sentuh, Rifki! Tidak ada yang tahu apa yang ada di dalamnya!”

Aku mengabaikan kata-kata Nindi dan berusaha menembus siluet itu dengan tanganku. Tidak terasa apa-apa dan tidak terjadi apa-apa. Aku mulai melangkahkan kakiku pelan dan …itulah kesalahan terbesarku. Ternyata, siluet itu tidak ada pijakan dan membuatku kehilangan keseimbangan. Ketika aku akan jatuh ke dalam siluet itu, tangan kiriku di raih oleh Nindi. Dia terus menahan tubuhku dan menariknya keluar dari siluet itu.

“Kenapa kamu keras kepala sekali, Rifki?”

“Dan kenapa kamu lari, Nindi? Kamu pasti tahu sesuatu tentang ini. Kenapa kamu menyembunyikannya? Kamu tidak percaya padaku atau semacamnya?”

“BUKAN! Hanya saja …”

“Hanya saja?”

“Apa kamu memang ingin tahu?”

“Tentu saja!”

“Kalau begitu, temui aku hari Minggu di depan taman bermain. Kalau kamu menemaniku pergi jalan-jalan ke taman bermain, akan kuberitahukan semuanya padamu.”

“Semuanya?”

“Benar. Apapun yang ingin kamu tahu. Termasuk siapa diriku sebenarnya. Kalau begitu, datanglah jam delapan. Aku akan menunggumu.”

Nindi meninggalkanku begitu saja tanpa berkata lebih jauh. Ketika aku berusaha mengejarnya, dia sudah menghilang. Aku hanya terdiam tak mengerti. Kenapa dia harus membuatku penasaran? Karena waktu pelajaran berikutnya telah masuk, aku segera kembali ke kelas dengan perasaan gelisah terus menerus. Ketika aku mencarinya di pohon yang sama ketika jam istirahat kedua, dia tidak di sana. Aku gelisah dan penasaran.

Sekarang, sekolah telah selesai dan waktuku untuk mencari Nindi telah tiba. Namun, aku tidak punya tempat untuk dituju. Aku berjalan ke arah taman yang pernah kami datangi sebelumnya dan dia tidak di sana. Aku tuju rumahnya dimana aku tidur kemarin, dia tidak di sana. Dimanakah ia? Dengan perasaan terkatung-katung seperti itulah aku hanya dapat kembali ke rumah.

***

Aku telah menghabiskan beberapa hari ini dengan sabar. Dalam beberapa hari ini telah kucek secara berkala tempat-tempat yang biasa didatanginya dan dia tidak di sana. Tidak sedikitpun tanda-tandanya dimanapun seolah lenyap ditelan bumi. Aku hanya bisa menunggu esok tiba. Jika dia tidak muncul di sana, aku akan menyerah dan menganggap semua ini hanyalah omong kosong kemudian melupakannya.

Hari esok itupun telah menyingsing. Udara pagi yang segar telah masuk ke ruanganku dan membuatku semakin bersemangat. Dengan segala rasa keingintahuanku, diriku melangkah pergi menuju kemungkinan tak terbatas dari jawabannya. Akhirnya, hari ini aku mengetahui kebenarannya.

Perjalanannya memakan waktu sekitar 30 menit. Taman bermain yang akan kudatangi ini cukup unik. Mereka buka selama dua puluh empat jam selama seminggu. Cukup aneh kupikir tapi mungkin ada maksud tersembunyi di baliknya. Setelah sampai, aku segera memeriksa jam tanganku. Pukul 07.32, syukurlah aku tidak terlambat. Ketika aku berjalan pelan menuju gerbang taman bermain tersebut, tidak nampak seseorang pun di sana. Memang, dia mengatakan untuk datang pukul delapan. Ketika aku berniat mencari bangku, tiba-tiba saja ada seseorang yang menutup mataku dari belakang.

“Ayo tebak, siapa ini?”

“Sudahlah Nindi …”

Benar, aku tahu persis dia adalah Nindi. Ketika aku melihat ke belakang, aku menemukan dirinya menggunakan pakaian dress panjang dengan rambut yang diikat ke samping. Benar-benar pilihan yang menawan namun masih kalah dengan kebenaran yang disimpannya.

“Aku kira kamu akan datang pukul delapan, Rifki.”

“Aku tidak mau terlambat.”

“Seperti yang diharapkan!”

Nindi hanya tersenyum dan segera berlari ke arah pintu masuk sambil membawa dua buah tiket. Ketika dia sampai di tempat pemeriksaan karcis, dia memberikan karcisnya sambil menunjuk ke arahku. Mungkin untuk mengatakan tiket kedua untuk siapa.

Aku terus berjalan dan mulai memasuki taman bermain tersebut. Rasanya sudah lama sekali aku tidak ke sini. Aku hampir lupa bagaimana taman bermain ini dulu bentuknya. Dia tampak sangat bersemangat ketika melihat berbagai wahana yang ada.

“Yang mana dulu ya? Roller coaster? Atau rumah hantu? Atau ..."

"Terserah. Aku akan menemanimu seharian."

"Kalau begitu baguslah."

Dia segera meraih tanganku dan membawaku ke wahana roller coaster. Jujur saja, aku tidak terlalu senang naik wahana yang satu ini. Mendebarkan, penuh rasa takut, aku tidak suka dengan semua itu. Namun demi membuatnya senang, aku bersedia saja.  Terlihat dia sangat antusias bahkan saat mengantri.

“Kenapa antriannya bisa sepanjang ini walau masih pagi?” keluhnya.

“Karena taman ini buka 24 jam, jadi hal ini tidak mengejutkan.”

“Benar juga …”

Setelah menunggu beberapa menit, giliran kami tiba dan kami mendapat tempat duduk di bagian belakang. Ketika aku melihatnya, dia terlihat sangat menantikannya. Ketika bel tanda wahana akan dimulai berbunyi, aku menghirup napas dalam-dalam. Perlahan-lahan tapi pasti, kami mulai bergerak. Menaiki ketinggian dengan kecepatan rendah tersebut membuatku cukup tegang. Ketika mencapai puncaknya, aku sampai pada titik yang paling kubenci, turunan. Kereta luncur meluncur dengan kecepatan tinggi membuat sensasi takut yang luar biasa terutama ketika aku merasakan tubuhku serasa akan lepas dari kereta luncur tersebut.

“AAAAA!!!”

Terdengar suara dari siapapun di kereta luncur tersebut. Semua berteriak menikmati sensasi tersebut termasuk diriku. Namun, teriakan itu tidaklah sama setiap orang. Ada yang berteriak karena takut tapi ada pula yang teriak dengan riang seperti orang di sebelahku ini. Dengan semua sensasi tersebut, aku hanya bisa berteriak dengan takut mengikuti alur yang berkelok-kelok dari roller coaster ini.

Ketegangan itu kemudian berlalu. Dengan jantung yang berdegup kencang serasa ingin copot, aku berjalan ke arah bangku yang ada di taman tersebut untuk duduk seraya menenangkan diri. Nindi hanya tersenyum puas melihatku sambil berkata,

“Bagaimana?”

“Jantungku rasanya mau copot.”

“Hahahaha, mana semangatmu tadi? Ini baru pemansan supaya tidak mengantuk!”

“Ini pemansan?! Aku rasa sepulang dari taman bermain ini aku sudah dirawat di rumah sakit.”

Nindi terdiam sejenak kemudian tersenyum. Dengan cepat dia memukul pelan kepalaku.

“Kamu jangan berkata seperti itu! Sebagai darah muda, kita harus tetap semangat!”

“Tapi kamu itu kelewatan batas.”

“Sudah, jangan berkilah lagi. Ayo kita ke tempat selanjutnya!”

Dia mengajakku ke berbagai tempat yang lain. Pertama, dia mengajakku ke rumah hantu. Aku sebenarnya tidak terlalu takut dengan hantu bohongan seperti itu. Aku justru terkejut melihat Nindi yang memegang erat tanganku ketika masuk ke dalam rumah hantu tersebut. Ketika dia dikejutkan oleh salah satu hantu di sana, dia langsung memelukku sambil berteriak ketakutan. Aku segera bertanya,

“T-tunggu dulu, Nindi! Jangan katakan kamu takut hantu-hantu ini?”

“S-sedikit …”

“Kalau kamu memang takut kenapa kamu malah masuk?”

“Tapi aku ingin tahu bagaimana rasanya ditakut-takuti lagi.”

“A-ap … ughhhh~ Terserahlah! Pegang saja tanganku. Aku akan menuntunmu keluar.”

Dia memegang erat tanganku sambil melihat-lihat ke arah sekitar.

“Kenapa kamu malah membuka matamu kalau memang takut?”

“Kalau aku menutup mataku, aku tidak bisa melihat apapun!”

“Apa sebenarnya maumu, Nindi?”

Dia hanya tertawa. Terkadang aku tidak mengerti dengan isi kepalanya. Dia begitu takut ketika melihat hantu tak berkepala mengejar kami. Nindi berusaha lari secepatnya sambil membawaku bersamanya. Aku hanya mengikuti gerakannya yang tidak terlalu cepat. Tiba-tiba saja kami dihadang oleh sebuah hantu wanita dengan pakaian dari rumah sakit dengan mulut penuh darah dan pakaian yang dilumuri oleh sesuatu yang seperti darah sehingga terkesan menakutkan.

Nindi berteriak ketakutan dan hanya mampu jongkok melihat ke arah tanah dengan takut. Berkebalikan dengan Nindi, adrenalin ku terpompa akan kemarahan. Aku melihat sebuah pemandangan yang mengingatkanku pada adikku. Sebuah pemandangan ketika adikku muntah darah ketika dia dirawat. Aku tahu, orang di depanku ini tidaklah bermaksud demikian namun aku tidak dapat menghentikan diriku. Aku menghantam keras orang tersebut ke dinding.

Akhirnya aku lepas kendali.

“BERANI SEKALI KA--”

Aku segera mengendalikan diriku yang sudah lepas kendali itu. Dengan cepat aku melepaskan orang tersebut dan menarik Nindi yang terlihat masih ketakutan itu keluar dari wahana rumah hantu itu. Aku dan Nindi segera duduk di sebuah bangku taman yang jauh dari wahan tersebut.

“K-kenapa itu tadi, Rifki?”

“T-tidak …aku hanya …”

“Ada apa sebenarnya, Rifki?”

“Orang tadi mengingatkan aku pada adikku.”

Ah, akhirnya terucap juga. Sebuah kata yang seharusnya tidak kuucapkan lagi setelah kematian adikku.

“Apa karena pakaian dan dar- …”

Nindi tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya tertunduk dan menghindari pandangannya dariku.

“Tidak usah dibahas hal itu lagi,” pintaku lembut padanya.

Kami berdua lalu terdiam di tengah keramaian tersebut.

“T-tapi, itu bukanlah hal yang salah ketika kamu rindu adikmu, Rifki.”

Tiba-tiba saja Nindi memecah keheningan.

“Ha?” tanyaku spontan.

“Kamu mengingat adikmu merupakan tanda bahwa kamu peduli padanya dan sangat menyayanginya. Kamu tidak melupakannya sedikitpun. Dia pasti bahagia punya kakak yang selalu mengingatnya.”

Aku tersentuh dengan kata-katanya. Mataku serasa berkaca-kaca menahan tangis. Aku sangat merindukannya tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk melepaskan rindu ini. Aku yakin Ayah dan Ibu juga sepertiku tapi apalah daya kami. Melihat papan nisan yang berdiri kokoh itu tak mampu mengobati rasa rindu di hati.

“Terima kasih, Nindi.”

Dia hanya menjawabnya dengan senyum. Aku mengatakannya untuk menunggu sebentar. Aku kemudian berjalan ke arah penjual es krim dan membeli dua es krim. Ketika aku kembali bersama es krim, dia terlihat begitu bahagia. Dengan cepat dilahapnya es krim tersebut tanpa sisa. Benar-benar seperti anak-anak saja. Aku hanya tersenyum melihatnya. Di tengah keadaan itu aku meminta pada Nindi,

“Aku ingin mengunjungi sebuah wahana. Apa kamu mau menemaniku, Nindi?”

“Hmm? Boleh saja. Kebetulan aku sudah selesai makan. Apa kita pergi sekarang?”

Aku mengangguk dan berjalan dahulu. Dengan cepat Nindi menyusul dan berjalan di sampingku. Kami berjalan agak jauh dari tempat kami berdiri tadi dan sampai pada sebuah wahana yang bertuliskan Rumah Cermin.

“Inikah wahananya, Rifki?”

Aku mengangguk. Kami berjalan perlahan memasuki wahana tersebut. Sangat kontras dengan keadaan luar. Aku menemukan diriku bersama replika dari diriku dengan berbagai bentuk. Aku pun ingat ketika terakhir kali aku mengunjungi tempat ini bersama Rena. Ketika itu kami berusia sekitar tujuh tahun. Waktu itu kami benar-benar penasaran dengan rumah kaca ini karena wahana yang baru saja dibuka. Disaat itu, kami terpisah dan tersesat. Dengan ratusan bayangan yang terbentuk, aku tidak bisa menemukan Rena dimanapun.

Aku terkejut ketika menemukan sebuah bayangan yang mirip sekali denganku. Dengan rambut pendek dan baju yang sama. Ketika itu aku berpikir bahwa itu adalah cermin datar. Namun, aku terkejut menemukan bahwa bayangan tersebut membawa tas sedangkan aku tidak.

“Sudah, hentikan Rena!”

Bayangan itu tertawa dan memang benar bayangan itu adalah Rena. Ketika itu aku berpikir bahwa sangat menjengkalkan ketika kembaranmu memakai baju dan gaya rambut yang sama denganmu. Saat itu aku juga tidak mengerti mengapa Rena ingin menyamakan gaya rambutnya denganku. Namun, di sana adalah salah satu kenangan terakhir kami bisa bersenang-senang seperti itu. Tahun-tahun selanjutnya, Rena mulai menampakkan gejala awal penyakitkan dan membuatku kehilangan kesempatan untuk bisa bersama dengannya.

Aku terus berjalan melewati kloninganku di dalam cermin tersebut. Ketika aku melihat ke arah belakang sekilas, aku tidak menemukan Nindi. Aku langsung panik melihat ke sekitar. Bagaimana mungkin dia dapat terpisah dariku? Padahal jarak kami sangat dekat tadi. Aku yang bingung pun mulai memanggil namanya tapi tidak ada jawaban. Aku terus berjalan maju, berharap menemukannya.

Ketika aku sudah mencapai ujungnya, aku melihat Nindi berdiri dengan tenang menghadap padaku. Diam, seperti bayangan yang menantikan tuannya dari balik cermin tiba.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Nindi? Aku sudah kemana-mana mencarimu! Aku sangat khawatir!”

“Aku mungkin bukanlah adikmu atau kembaranmu. Ingatanmu tentangnya adalah benda yang berharga dan tak mampu digantikan siapapun. Karena itu, jangan malu untuk mengungkapkannya. Jika kamu memang merindukannya, kamu tidak perlu menahannya. Luapkan semuanya.”

Aku melihat ke arah Nindi. Ah, benar juga. Dia berdiri di tempat aku menemukan Rena. Sebuah tempat yang mengingatkanku kembali pada Rena. Memang benar, dia tidak dapat menggantikan Rena. Hanyalah Rena yang dapat membuatku berpikir bahwa aku sedang melihat ke arah cermin dan bukannya Nindi. Namun, aku tersadar akan satu hal,

“Bagaimana kamu tahu dia berdiri di sini?”

Nindi hanya tersenyum. Dia berjalan ke luar tanpa menjawab kata-kataku. Aku terus mengikutinya.

“Tunggu dulu, Nindi!”

Aku berusaha menghentikannya. Ketika aku berusaha mengejarnya sekuat tenaga, aku tidak mampu mengejarnya. Dia serasa …semakin jauh. Apa yang terjadi? Tiba-tiba Nindi berhenti dan melihat ke arahku. Kini, aku dapat mendekat ke arah Nindi. Namun, aku menemukan kami berdua di tempat lain. Dimana ini?

“Kamu memang ingin tahu kebenarannya, bukan?” tanya Nindi padaku.

“Benar. Tapi, aku tidak bisa memaksamu untuk memberitahukannya padaku atau tidak.”

Dia melemparkan buku yang sama dengan buku yang kutemukan di bawah pohon itu. Sebuah buku yang berisi naskah drama yang ingin dibuatnya. Terlihat sekarang lebih panjang daripada sebelumnya. Aku mulai membacanya dengan saksama dan menemukan beberapa hal namun aku abaikan untuk sekarang. Aku pun menyampaikan rasa penasaranku,

“Kenapa dengan buku ini, Nindi?”

“Apa kamu sudah membacanya?”

“Sudah.”

“Baiklah. Sekarang akan lebih mudah.”

“Kalau begitu sekali lagi aku akan bertanya, siapa dirimu sebenarnya, Nindi?”

“Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, aku harus menyampaikan padamu mengenai dunia ini.”

“Dunia …ini?”

“Benar. Dunia ini adalah sebuah dunia yang tercipta dari mimpi. Lebih tepatnya mimpi kita berdua. Inilah sangkar yang mengurung putri dan pangeran. Dunia ini tercipta lebih banyak mengambil bagian diriku daripada dirimu. Karena itu sang putrilah yang menciptakan sangkar.”

“Tunggu dulu. Jadi, naskah dramamu adalah- …”

“Benar. Naskah itu menceritakan mengenai kita dan hanya kita. Aku berusaha memberikanmu petunjuk. Namun, sepertinya hal tersebut tidak terlalu efektif. Kamu justru membukan kebenaran dunia ini bukan dari petunjuk dari yang kuberikan. Tapi aku tidak mempermasalahkannya.”

“Lalu siapa kamu sebenarnya?”

“Baiklah, akan kuperkenalkan sekali lagi. Namaku Nindi. Aku bersekolah di SMA Negeri 10 dan aku adalah orang yang telah kamu selamatkan.”

Aku mulai berpikir beberapa saat. Pertama, jika dia murid SMA Negeri 10, kenapa dia justru memakai seragam SMA Negeri 1? Aku beranggapan bahwa dia ingin bertemu denganku. Namun, aku tidak dapat memikirkan maksud kata-kata terakhirnya.

“Kamu sepertinya tidak ingat, Rifki tentang kejadian sebelum kita datang ke dunia ini.”

Benar juga. Bagaiamana mungkin aku tidak dapat mengingatnya?

“Ketika itu, aku bertengkar dengan Ayahku karena dia tidak mengizinkanku keluar untuk bermain dengan teman-temanku. Ketika diperempatan dan menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala, sebuah mobil yang melaju tidak teratur memasuki wilayah pejalan kaki dan mengarah padaku. Ketika itulah kamu datang mendorongku cukup kuat agar aku tidak tertabrak. Namun di saat yang sama, datanglah sebuah truk ke arahku. Sepertinya takdir telah berbicara bahwa aku harus mengalami kecelakaan saat itu. Begitulah kenyataan sebelum kita berakhir di dunia ini, dunia mimpi ini.”

“Jadi, apa kamu dan aku mengalami kecelakaan dan berbagai mimpi, begitu?”

“Benar. Aku punya kelainan otak dari dulu. Ini adalah salah satu akibat jeleknya. Namun, aku bersyukur sekarang memiliki kelainan ini. Aku dapat bertemu denganmu. Aku setidaknya ingin mengucapkan terima kasih banyak.”

Aku tidak dapat menjawabnya. Aku hanya terpaku pada penjelasannya yang tenang. Bagaimana mungkin dia dapat setenang itu?

“Sekarang, kebenaran telah dihembuskan. Waktunya kamu memilih, Pangeran. Lihatlah ke arah tanganmu.”

Ketika aku melihat ke arah tanganku, ada sebuah pistol yang tergenggam. Bagaimana mungkin …? Terlihat Nindi tersenyum dan berkata,

“Kini pilihan ada di tanganmu, Pangeran. Apakah kamu ingin membunuhku dengan pistol itu dan keluar dari dunia ini ataukah kamu ingin hidup di dunia mimpi ini bersamaku selamanya? Jadi, yang manakah pilihanmu wahai Pangeran?”

Aku melihat panjang ke arah pistol itu. Aku kemudian melihat ke arah Nindi yang melihatku dengan wajah iba namun berusaha tetapi tegar. Aku hanya dapat menatapnya dengan sedih. Aku merasa bersalah. Dia harus merasakan sakit yang sama bahkan setelah aku menyelamatkannya. Aku telah memberikan harapan palsu padanya dan membuat berakhir di dunia ini. Aku tersenyum dan melepaskan pengaman senjata itu. Aku arahkan senjata tersebut dan kutarik pelatuk tersebut.

Dalam sekejap, timah panas itu menembus kepalaku.

Langkah Pelan Meninggalkan Dramaku Chapter 4 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar